Ransum merupakan komponen utama dalam pemeliharaan ayam petelur. Biaya ransum juga merupakan yang terbesar dari komponen biaya untuk menghasilkan sebutir telur. Jadi, jika kualitas, jumlah pemberian, dan teknik pemberiannya tidak diperhatikan oleh peternak, maka akan menyebabkan target performa tidak akan tercapai dan tentunya juga menyebabkan kerugian ekonomi.
Kebutuhan Nutrisi Ayam Petelur
“Garbage in, garbage out” sebuah istilah yang sangat cocok untuk menggambarkan pentingnya kualitas bahan baku ransum. Makna dari istilah tersebut ialah jika kualitas bahan baku yang digunakan bagus dan memenuhi standar, maka ransum yang dihasilkan pun akan baik kualitasnya. Sehingga performa ayam menjadi optimal. Sebaliknya, ketika bahan baku yang digunakan kualitasnya buruk, maka ransum yang dihasilkan pun akan buruk kualitasnya.
Selain kualitas, kuantitas atau jumlah dari istilah tersebut ialah jika kualitas bahan baku Karena walaupun secara kualitas sudah baik, apabila feed intake atau konsumsi ransumnya tidak tercapai, maka kebutuhan nutrisi ayam tersebut tetap tidak akan terpenuhi.
Ransum yang berkualitas adalah ransum yang mempunyai kandungan nutrisi sesuai dengan kebutuhan ayam. Beda jenis ayam beda pula kebutuhan nutrisinya. Setiap fase pertumbuhannya juga membutuhkan jumlah nutrisi yang berbeda.
Berikut pada Tabel 1. adalah contoh kebutuhan nutrisi pada ayam petelur mulai dari fase starter, grower, developer (grower II), pre-layer, layer 1, layer 2 dan layer 3.
Pada ayam periode starter, kebutuhan proteinnya paling tinggi dibandingkan dengan periode lain. Hal ini dikarenakan pada periode starter terjadi perbanyakan dan pertumbuhan sel yang sangat tinggi untuk mendukung pembentukan organ tubuh dan pencapaian bobot badan yang optimal.
Kelanjutan dari masa starter adalah masa grower yang merupakan masa perkembangan sel-sel organ tubuh. Organ yang terbentuk saat masa starter mengalami pembesaran sesuai dengan kebutuhan tubuh. Dalam fase ini, pertambahan sel perlahan akan terhenti dan menjadi proses pembesaran sel, sedangkan konsumsi ransum terus meningkat. Jika kadar protein ransum grower masih sama dengan starter, maka efeknya tubuh ayam akan menyimpan kelebihan protein ini sebagai deposit lemak, di mana pada ayam petelur kelebihannya akan disimpan pada saluran reproduksi. Apabila hal ini terjadi maka masalah yang timbul saat masa layer antara lain dewasa kelamin terlalu dini, angka kematian tinggi, dan masa puncak produksi yang pendek.
Sementara ketika masuk masa bertelur (masa layer), proses perkembangan sel berjalan sangat lambat (sehingga pertumbuhan ayam juga lambat, red) namun proses pembentukan telur baru dimulai. Untuk membentuk sebutir telur dibutuhkan protein dan asam amino yang tinggi. Oleh karena itu, kadar protein ransum masa layer akan ditingkatkan, meski tidak setinggi masa starter. Sedangkan untuk ayam umur tua, protein hanya dibutuhkan untuk pembentukan telur saja, sehingga kadar protein pada ransum ayam tua juga menurun.
Formulasi Ransum Ayam Petelur
Jenis ransum yang biasa digunakan oleh peternak ayam petelur antara lain adalah ransum jadi, konsentrat dan self mixing (membuat ransum sendiri). Ransum self mixing sudah banyak digunakan oleh peternak, terlebih lagi peternak yang fokus pada produktivitas dan daya saing (harga). Self mixing biasanya memiliki harga yang paling murah dibandingkan konsentrat maupun ransum jadi, meskipun sesekali waktu harganya bisa lebih mahal dikarenakan harga bahan baku yang meningkat. Namun, dari segi kualitas ransum biasanya akan lebih tinggi spesifikasi kandungan nutrisinya. Hal ini dilakukan sebagai back up atau safety margin atas bahan baku ransum yang digunakan oleh peternak. Selain itu, ransum self mixing lebih fleksibel atau lebih mudah disesuaikan dengan kondisi ayam petelurnya, terutama dari tingkat feed intake (konsumsi ransum), variasi bahan baku ransum dan tingkat produksi ayam.
Saat ayam petelur memasuki masa awal produksi, biasanya tingkat konsumsi ransum sulit mencapai standar (di bawah standar, red). Salah satu solusi agar asupan nutrisi ransum bisa memenuhi kebutuhan ayam untuk memproduksi telur adalah dengan melakukan perubahan formulasi ransum, yaitu meningkatkan kepadatan nutrisi. Jika dengan target feed intake 115 g/ekor/hari ayam membutuhkan ransum dengan kadar protein kasar 16,4% (ISA Brown Nutrition Guide Fase Layer 1, 2021), namun ketika konsumsi ransum hanya tercapai 105 g/ekor/hari maka kita bisa merubah kadar protein kasar menjadi 17,96%. Dengan meningkatkan kadar protein kasar menjadi17,96% maka ayam petelur ini akan mendapatkan asupan nutrisi yang sama dengan yang mengonsumsi ransum sebanyak 115 g/ekor/hari. Dan hal ini menjadi lebih mudah dilakukan dan diterapkan jika menggunakan ransum self mixing. Perhitungan diatas jika dibuat rumus maka sebagai berikut:
- Formulasi ayam petelur starter
Formulasi ransum untuk ayam petelur fase starter self mixing masih belum begitu banyak yang mengaplikasikan, meskipun sudah mulai beberapa peternak yang sudah self mixing mulai dari umur 1 atau 10 hari. Saat kita melakukan formulasi ransum ayam petelur fase starter perlu memperhatikan tingkat kecernaan nutrisi. Hal ini dikarenakan ayam petelur fase starter untuk metabolisme tubuhnya belum sempurna. Penggunaan enzim harus diperkuat sehingga ayam mampu mencerna bahan baku.
Rata-rata peternak masih menggunakan ransum jadi, dalam bentuk crumble atau fine crumble. Ransum dari pabrikan ini bisa dikatakan ransum yang sudah diproses atau dimasak (dipanaskan saat tahapan conditioning). Proses ini bisa meningkatkan homogenitas ransum, tekstur ransum yang seragam dan meningkatkan kecernaan ransum. Saat menggunakan ransum jadi ini, perlu kita pantau stabilitas kualitas fisiknya, mulai dari tekstur, warna, bau dan jika diperlukan bisa dilakukan pengujian kimia, melalui MediLab. Saat performa pencapaian berat badan ayam petelur fase starter ini tidak tercapai, maka segera evaluasi pencapaian feed intake hariannya. Cek juga status kesehatan, terutama penyakit yang mengganggu saluran pencernaan, seperti koksidiosis, necrotic enteritis, colibacillosis, dll. Perlu sekiranya ditambahkan premix, seperti Mix Plus LGM13A atau Mix Plus LGM123A dengan dosis 1-5 kg/ton.
- Formulasi ayam petelur grower
Ayam petelur umur 6 minggu sudah bisa diberikan ransum self mixing. Ransum ayam petelur fase ini dibagi menjadi 2, yaitu ransum grower 1 dan ransum developer (grower 2). Ransum grower 1 diberikan mulai umur 6-10 minggu, sedangkan ransum grower 2 diberikan pada 11-16 minggu.
- Formulasi ayam petelur pre-layer
Ransum ayam petelur pre-layer ini bisa diformulasikan secara khusus, atau menggunakan pencampuran antara ransum grower 2 dengan ransum ayam petelur produksi. Ransum pre-layer ini berfungsi untuk mentransisikan ransum grower ke layer. Dimana kadar kalsium ransum pre-layer ini berkisar 2%. Pemberian ransum pre-layer ini adalah 16-18 minggu.
- Formulasi ayam petelur layer
Formulasi ransum ayam petelur fase layer disesuaikan dengan target feed intake-nya. Selain itu, formulasi ransum untuk ayam petelur muda dan tua (> 50 minggu) sebaiknya dibedakan.
Formulasi ransum ayam petelur self mixing diatas adalah contoh formulasi yang sudah diaplikasikan oleh peternak. Formulasi ini bisa diubah sesuai dengan kondisi masing-masing peternak. Formulasi ini diolah menggunakan Brill Formulation System yang menerapkan metode least cost formulation (formulasi dengan biaya termurah).
Manajemen Pemberian Ransum yang Tepat
Secara umum hal yang perlu diperhatikan dalam manajemen pemberian ransum adalah:
- Pastikan kualitas ransum sesuai
Ada beberapa syarat ransum bisa dikatakan berkualitas, diantaranya yaitu:
- Bentuk sesuai dengan fisiologis/ umur ayam
- Mempunyai kecernaan tinggi
- Warna dan bau menarik
- Kandungan nutrisi lengkap sesuai kebutuhan
- Tidak beracun
- Antinutrisi rendah
- Perhatikan bentuk dan tekstur ransum yang diberikan
Secara alamiah, seekor ayam lebih menyukai ransum berbentuk butiran seperti crumble atau pellet. Jika saat periode starter, peternak mampu memberikan ransum berbentuk crumble, namun tidak dengan dengan periode grower sampai dengan layer. Saat periode grower dan seterusnya, umumnya peternak lebih memilih menggunakan ransum berbentuk mash/ tepung dengan alasan praktis dan menghemat biaya.
Maka dari itu, agar konsumsi (feed intake) ransum ayam tersebut tetap tinggi sesuai standar, maka peternak perlu mempertimbangkan untuk melakukan potong paruh (debeaking) di kisaran umur 8-10 minggu. Dengan kondisi paruh rata bagian depan, maka ayam bisa mengambil ransum dengan jumlah banyak dalam sekali patuk.
- Sediakan tempat ransum dan tempat minum dalam jumlah sesuai
Sediakan jumlah tempat ransum dan tempat minum yang cukup sesuai jumlah populasi ayam dan letakkan tersebar rata ke seluruh kandang. Ketinggian tempat ransumnya perlu diatur agar sejajar dengan tinggi punggung ayam. Usahakan tempat ransum ayam jangan diisi full, karena kemungkinan ransum tercecer tinggi. Idealnya cukup ¾ dari kapasitas tempat ransum. Selain itu, kebersihan tempat ransum dan tempat minum ayam juga harus terjaga. Cuci tempat ransum dan air minum minimal 2x sehari dan lakukan desinfeksi dengan cara direndam dalam larutan Medisep (15 ml tiap 10 liter air) selama 30 menit setiap 3-4 hari.
- Berikan ransum pada jam yang tetap setiap hari
Untuk ayam periode starter berikan ransum 4–9x dalam sehari secara ad libitum (selalu tersedia), karena pada periode tersebut pertumbuhan sangat cepat dan efisiensi ransum sangat tinggi. Pada periode grower sampai layer,frekuensi pemberian ransum menjadi 2-3x dalam sehari dan perlu dipastikan sesuai dengan standar breeder. Pemberian ransum juga sebaiknya dilakukan saat suhu lingkungan nyaman untuk ayam. Pagi bisa diberikan antara pukul 05.00–07.30, sore antara pukul 14.00-16.00 atau malam antara pukul 18.00-21.00. Selain itu, usahakan jumlah yang diberikan di pagi hari 30-40% dan sore sampai malam 60-70%. Yang perlu diingat ialah, berikan ransum pada jam yang tetap setiap harinya. Misalnya ransum diberikan setiap hari 2 kali pukul 07.00 dan 15.00. Pemberian ransum pada jam yang tetap ini bertujuan untuk menghindari ayam stres ketika ransum telat diberikan.
- Menyediakan air minum
Sediakan air minum yang bersih dan berkualitas secara ad libitum (tidak dibatasi) setiap hari karena jika konsumsi air minum rendah maka konsumsi ransum juga rendah.
- Buat recording ransum secara lengkap
Recording di sini meliputi pencatatan komposisi ransum, kondisi fisik, kandungan nutrisi, jumlah ransum yang habis, dan ransum yang tersisa. Ransum yang akan diberikan hendaknya selalu ditimbang, sehingga bisa diketahui jumlah ransum yang habis. Bandingkan jumlah konsumsi ayam per harinya dengan standar manual guide, sehingga performa ayam bisa dipantau terus-menerus. Data-data ini sangat bermanfaat untuk menghitung jumlah pengeluaran dan mengevaluasi performa ayam. Contohnya jika suatu saat konsumsi turun dibarengi dengan produksi telur yang juga turun, maka peternak bisa mengambil tindakan penanganan sesegera mungkin.
- Lakukan kontrol/pengecekan secara rutin
Saat memberikan ransum usahakan sekalian membersihkan tempat ransum dan mengecek apakah masih tersedia atau tidak.
Selain manajemen secara umum, ada pula hal-hal khusus yang perlu diperhatikan, seperti:
- Hindari pemberian ransum broiler untuk ayam petelur starter
Selain perbedaan target nutrisi pada Tabel 4., tekstur ransumnya pun berbeda.
- Tambahkan grit saat fase grower
Saat masa grower, fungsi grit selain untuk membantu pencernaan juga berfungsi sebagai sumber kalsium. Untuk itu, berikan grit mengandung kalsium seperti limestone atau kulit kerang. Untuk aturan jumlah pemberiannya, pada umur 3-10 minggu berikan sebanyak 3 g/ekor/minggu dengan ukuran 2-3 mm, sedangkan pada umur > 10 minggu, diberikan sebanyak 4-5 g/ekor/minggu dengan ukuran 3-5 mm.
- Puncak produksi harus dibarengi puncak konsumsi ransum
Saat memasuki masa puncak produksi, tentunya perlu ditunjang juga dengan puncak konsumsi ransum. Karena ransum merupakan input yang harus dipenuhi untuk menghasilkan output berupa produksi telur. Berikut contoh target feed intake saat memasuki puncak produksi (Grafik 1.).
Pentingnya Uji Kualitas Ransum
Hal yang harus diperhatikan dalam kontrol kualitas bahan baku ransum yakni ketika bahan baku datang ke peternakan, segera catat no. batch, nama supplier, tanggal, dan jumlah muatan bahan baku. Setelah itu, lakukan pemeriksaan kualitas fisik dan kimia (jika perlu). Setelah diperiksa, selanjutnya bahan baku disimpan pada gudang ransum, dan diurutkan berdasarkan no. batch serta tanggal kedatangan.
Kontrol kualitas bahan baku ransum dilakukan secara rutin saat bahan baku ransum datang ke peternakan maupun saat bahan baku ransum telah disimpan di gudang. Untuk bahan baku ransum yang mudah rusak seperti bekatul, kontrol kualitas dilakukan 1 minggu sekali. Sedangkan untuk bahan baku ransum yang tidak mudah rusak bisa dilakukan 2 minggu sekali.
Pemeriksaan bahan baku baku ransum bisa dilakukan secara fisik, kimia dan mikroskopik. Secara fisik, bahan baku ransum bisa diamati secara kasat mata, diantaranya warna, bau, ukuran partikel, dan kontaminan jamur. Sedangkan secara kimia pemeriksaan bahan baku dapat dilakukan dengan uji proksimat meliputi kadar air, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, kalsium, fosfor, dan energi bruto. Selain itu, terdapat juga uji Phloroglucinol untuk menguji kontaminan sekam yang terdapat di bekatul atau dedak. Secara mikroskopik, jenis bahan baku dapat diamati melalui mikroskop dengan pembesaran 90 – 500 kali.
Agar hasil uji lebih optimal, perlu didukung dengan teknik pengambilan dan pengiriman sampel yang benar. Sampel sebaiknya diambil dari beberapa bagian tumpukan bahan baku atau ransum. Semakin banyak titik yang diambil sampel akan semakin mencerminkan kondisi ransum. Dalam pengiriman, sampel jangan sampai rusak, lebih baik dimasukkan dalam kardus tertutup sehingga aman dari kontaminasi.
Berikut Grafik 2. merupakan contoh data kandungan protein kasar pada jagung yang sangat variatif di lapangan. Dengan formulasi yang cenderung tetap namun bahan baku seperti ini, menjadi alasan perlunya penambahan premix.
Praktek Screening Mikotoksin Menggunakan UV Box Mycotoxin Detector
Selain uji proksimat, analisis kadar aflatoksin juga relatif sering dimanfaatkan. Dalam metode kualitatif, untuk mendeteksi ada tidaknya mikotoksin (terutama aflatoksin) di dalam bahan baku seperti jagung, peternak bisa mengujinya menggunakan sinar UV.
Caranya, sampel jagung digiling terlebih dahulu, kemudian diletakkan dalam kotak hitam dan sorot dengan lampu senter UV. Jagung yang terlihat berpendar (berwarna hijau keunguan) menandakan bahan baku sudah mengandung aflatoksin (lihat gambar).
Sedangkan pada metode kuantitatif, peternak bisa mengujikan sampel bahan baku atau ransum tersebut ke MediLab untuk mengetahui berapa kadar (ppm) mikotoksin yang ada di dalamnya.
Produktivitas ayam petelur akan optimal jika kita memperhatikan kualitas, jumlah pemberian, dan teknik pemberian ransum. Selain itu, biaya ransum pun bisa ditekan. Salam.