Dalam proses budidaya tanaman, petani tak luput dari kendala atau permasalahan. Masalah dapat berasal dari faktor biotik (organisme pengganggu tanaman) maupun abiotik (kesuburan tanah, kekeringan, banjir, atau kondisi iklim lainnya). Dampaknya dapat mempengaruhi kualitas maupun kuantitas dari hasil pertanian.
Salah satu permasalahan dalam usaha meningkatkan produksi adalah organisme pengganggu tanaman (OPT). OPT merupakan semua organisme yang mempunyai potensi untuk menimbulkan gangguan atau kerusakan pada tanaman dan berpengaruh terhadap hasil panen. Perlu penanganan yang tepat dan efektif dalam mengendalikan OPT agar tidak menurunkan hasil produksi. Terdapat beberapa jenis OPT, yaitu hama, penyakit, dan gulma.
- Hama
Disebabkan oleh hewan seperti tikus, serangga, tungau, siput, dan hewan lainnya
- Penyakit
Disebabkan patogen seperti, jamur, bakteri, nematoda, virus
- Gulma
Disebabkan oleh tumbuhan liar seperti, rumput, teki, dan tumbuhan liar lainnya.
Pengendalian OPT
Pengendalian OPT dapat dilakukan dengan berbagai macam cara untuk menekan perkembangan OPT di lahan pertanian. Pengendalian OPT antara lain dengan cara kultur teknis, penggunaan musuh alami, penggunaan varietas tahan, manipulasi genetik, secara fisik, maupun dengan pestisida. Pemilihan cara pengendalian perlu diperhatikan agar tindakan pengendalian OPT dapat berlangsung dengan efektif, efisien, dan juga aman untuk lingkungan.
Cara pengendalian OPT dengan pestisida merupakan cara yang paling banyak digunakan oleh sebagian besar petani. Pestisida adalah suatu bahan kimia atau lainnya yang digunakan untuk mengendalikan pertumbuhan dan perkembangan OPT.
Penggunaan pestisida dalam budidaya tanaman cabai sebagai pengendali OPT cukup tinggi mencapai 87%, dibandingkan dengan menggunakan metode lain yakni pemusnahan tanaman 2%, agen hayati 1%, dan cara lainnya 10% (Direktorat Perlindungan Hortikultura, 2020). Terdapat banyak jenis pestisida yang digunakan oleh petani dan dibedakan berdasarkan sasaran atau target OPT yang akan dikendalikan (Tabel 1).
Serangan OPT yang terjadi secara terus menerus memaksa petani menggunakan pestisida untuk mengendalikannya. Penggunaan pestisida dipilih karena memiliki kelebihan, yaitu efisien, efektif, praktis, mudah didapat, dan hasil pengendalian cepat dalam menurunkan populasi hama dan intensitas penyakit.
Penggunaan pestisida yang dilakukan secara terus menerus dan dengan cara yang kurang tepat dapat menimbulkan resistensi pada OPT. Resistensi merupakan ketahanan OPT terhadap suatu pestisida. Seperti contoh pada skema 1, penggunaan satu bahan aktif secara terus menerus dapat menurunkan populasi OPT yang rentan dari 90% menjadi tersisa 5% populasi OPT yang rentan. Kondisi tersebut menyebabkan populasi OPT menjadi resisten.
Resistensi membuat penggunaan pestisida semakin meningkatkan jumlah dosis, frekuensi, dan komposisi pestisida. Semakin meningkatnya penggunaan pestisida dapat berdampak juga pada kesehatan, pencemaran lingkungan akibat residu, dan meningkatnya biaya pertanian.
Dampak resistensi OPT terhadap pestisida secara ekonomi dan sosial sangat besar. Terjadinya resistensi membuat pengeluaran lebih besar, karena harus menggunakan dosis yang lebih tinggi. Petani akan merugi karena target produksi tidak tercapai. Industri pestisida juga merugi karena “masa hidup” atau periode waktu penjualan pestisida di pasar semakin pendek. Masyarakat menanggung risiko bahaya bagi kesehatan dan lingkungan hidup.
Sebagian besar resistensi disebabkan oleh tindakan manusia yang menggunakan pestisida dengan cara yang kurang tepat. Terdapat banyak merek dan berbagai macam bahan aktif untuk mengendalikan OPT. Namun, kurangnya informasi tentang penggunaan pestisida masih terbatas. Oleh karena itu diperlukan usaha untuk menekan terjadinya resistensi OPT terhadap pestisida dan dampak negatif lainnya.
Resistensi OPT terhadap pestisida dapat dihambat dengan melakukan pergiliran atau rotasi pestisida berdasarkan cara kerjanya (Mode of Action). Suatu bahan aktif dapat digunakan selama 3 minggu dan 3 minggu selanjutnya dilakukan rotasi dengan bahan aktif yang memiliki cara kerja yang berbeda. Seperti contoh pada skema 2. Cara kerja setiap bahan aktif pestisida dapat dilihat di situs IRAC (Insecticide Resistanse Action Committe) untuk insektisida dan FRAC (Fungicide Resistance Action Committe) untuk fungisida. IRAC dan FRAC memberi kode pada setiap cara kerja untuk memudahkan penerapan pergiliran atau rotasi pestisida.
Enam Tepat Penggunaan Pestisida
Penggunaan pestisida perlu dilakukan berdasarkan konsepsi pengendalian hama terpadu (PHT). Sebaiknya penggunaan pestisida harus dilakukan dengan “Enam Tepat” (6T), yaitu tepat sasaran, tepat mutu, tepat jenis, tepat waktu, tepat dosis atau konsentrasi, dan tepat cara penggunaan.
- Tepat sasaran
Pestisida yang digunakan harus sesuai OPT yang menyerang pada tanaman. Diperlukan pengamatan terlebih dahulu untuk mengetahui jenis OPT yang menyerang. Seperti pada tabel 1 disajikan daftar jenis pestisida yang digunakan berdasarkan OPT sasaran. Sebagai contoh OPT yang menyerang adalah jamur maka jenis pestisida yang digunakan adalah fungisida. Misalnya dengan menggunakan fungisida Pyrria untuk mengendalikan jamur Alternaria porri (bercak ungu) pada tanaman bawang merah.
2. Tepat mutu
Pestisida yang bermutu dapat dilihat dari bahan aktif bermutu, kemasan yang masih utuh, belum kadaluarsa, terdaftar dan diijinkan oleh komisi pestisida. Hindari penggunaan pestisida tidak terdaftar, sudah kadaluarsa, rusak atau yang diduga palsu karena efikasinya diragukan dan bahkan dapat mengganggu pertumbuhan tanaman.
3. Tepat jenis
Pestisida yang digunakan harus diketahui efektif terhadap hama dan penyakit sasaran tetapi tidak mengganggu perkembangan dan peranan organisme berguna. Informasi tersebut dapat diperoleh dengan membaca label yang tertera pada kemasan atau melalui buku Pestisida Pertanian dan Kehutanan.
4. Tepat waktu
Waktu yang tepat untuk menggunakan pestisida adalah saat OPT telah mencapai ambang pengendalian dan dapat menimbulkan kerugian secara ekonomi. Penyemprotan pestisida lebih baik dilakukan pada sore hari.
- Pagi hari
Masih mengandung banyak uap air yang menyebabkan butiran semprot tercampur dengan uap air dan konsentrasi pestisida akan menurun.
- Siang hari
Suhu udara tinggi yang mempercepat penguapan butiran semprot.
- Sore hari
Suhu dan kelembapan lebih stabil dengan suhu < 30° C dan kelembaban 50-80%.
5. Tepat dosis atau konsentrasi
Dosis atau konsentrasi harus sesuai dengan anjuran produk yang berada di label kemasan. Penggunaan yang lebih rendah atau tinggi akan memicu munculnya OPT yang kebal terhadap pestisida tersebut.
6. Tepat cara penggunaan
Aplikasi pestisida dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain penyemprotan, pengasapan, pencelupan, pengasapan, pemercikan, penyuntikan, pengolesan, penaburan, penyiraman, dan lain-lain. Penyemprotan merupakan cara yang paling umum dilakukan. Namun tidak semua jenis OPT dapat dikendalikan dengan cara disemprot. Aplikasi dilakukan sesuai dengan petunjuk penggunaan yang tertera pada label produk. Hal ini bertujuan agar pestisida efekftif dan optimal dalam mengendalikan OPT.
Penggunaan Pestisida dengan Penyemprotan
Dalam penggunaan pestisida, aplikasi penyemprotan merupakan cara yang paling banyak digunakan. Namun, dalam penerapannya perlu memperhatikan beberapa hal agar dapat mengendalikan OPT lebih efektif dan efisien. Beberapa hal tersebut antara lain :
a. Kualitas larutan semprot
Air merupakan komponen penting dalam pembuatan larutan penyemprotan pestisida. Pestisida pada umumnya memiliki sifat yang asam, sehingga dalam pembuatan larutan semprot diperlukan pH air yang asam hingga netral (4 – 7) atau dengan pH yang optimal adalah 5. Apabila air yang digunakan bersifat basa dapat menurunkan efikasi pestisida.
b. Volume semprot
Volume semprot adalah banyaknya larutan pestisida yang digunakan untuk suatu luasan tertentu. Volume semprot yang terlalu banyak akan menyebabkan pemborosan sedangkan apabila terlalu sedikit akan menghasilkan penyemprotan yang tidak merata. Penyemprotan tidak merata dapat mempengaruhi efektivitas untuk pengendalian OPT. Perlu dilakukan kalibrasi terlebih dulu untuk mengetahui volume semprot yang tepat untuk luas lahan dan komoditas yang akan disemprot pestisida.
c. Pemilihan jenis nozzel
Pemilihan nozzel perlu diperhatikan karena menentukan ukuran butiran semprot. Ukuran butiran semprot berpengaruh terhadap efektivitas dan efisiensi penyemprotan. Ukuran butiran semprot 150 – 200 mikron merupakan ukuran yang ideal untuk penyemprotan pestisida. Apabila ukuran <150 mikron, butiran semprot mudah tertiup angin dan menguap. Ukuran nozzel >200 mikron membuat butiran semprot akan mudah luruh.
d. Arah nozzel terhadap tanaman
Organisme pengganggu tanaman (OPT) umumnya ada di bagian bawah daun. Posisi nozzel di bawah yang mengarah ke atas dan diayunkan ke arah tanaman dengan sudut kemiringan ± 45° dan jarak dengan tanaman lebih dari 30 cm. Cara tersebut menghasilkan tingkat peliputan butiran semprot yang lebih tinggi, distribusi butiran semprot merata, dan meningkatkan efikasi pestisida.