Pengembangan usaha ternak layer (ayam petelur) komersial di Indonesia memiliki prospek yang bagus, terutama bila ditinjau dari aspek masyarakat akan kebutuhan gizi. Pemenuhan gizi ini, khusunya protein hewani salah satunya dapat diperoleh dari protein telur. Sehingga dengan demikian, usaha ternak layer masih memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan. Terlabih lagi, karena adanya fluktuasi suplai dan kebutuhan yang tinggi, harga telur juga selalu berubah. Biasanya menjelang Lebaran atau hari besar lainnya, harga telur ikut melambung bahkan hingga Rp.32.000 per kg.
Keberhasilan pencapaian produksi telur dilihat dari kualitas dan kuantitasnya. Untuk mencapai kedua parameter keberhasilan tersebut, maka proses pemenuhan manajemen pemeliharaan harus mampu dilakukan dengan optimal. Sejauh ini masih banyak peternak yang menghadapi berbagai masalah yang berdampak pada penurunan produksi telur, baik penurunan jumlah maupun kualitasnya. Ada banyak faktor yang bisa menjadi penyebab, terdiri dari faktor infeksius (penyakit) dan non infeksius (mutu bibit, kecukupan nutrisi, kondisi lingkungan dan manajemen pemeliharaan).
Penyakit Viral yang Menganggu Produksi Telur
Khusus berkaitan dengan faktor infeksius, turunnya produksi telur karena serangan penyakit bukanlah hal yang sepatutnya kita sepelekan. Faktor penyakit selama ini dianggap sebagai salah satu penyebab utama penurunan produksi telur pada ayam petelur. Penyakit menyebabkan berbagai disfungsi organ, baik itu organ pencernaan, pernapasan, syaraf maupun organ reproduksi yang secara langsung berhubungan dengan produksi telur. Diantara banyaknya penyakit yang bisa berpengaruh terhadap penurunan produksi telur, berikut penyakit-penyakit viral yang menimbulkan dampak penurunan produksi cukup tinggi pada ayam petelur diantaranya penyakit ND, AI, IB, EDS dan serangan SHS yang mulai marak saat ini. Mari kita telusuri penyakit-penyakit ini.
• Newcastle Disease (ND)
Newcastle disease (ND) merupakan salah satu penyakit viral yang sering menginfeksi unggas terutama ayam. Penyakit yang disebabkan oleh virus Paramixovirus-1 (APMV-1) ini menyebabkan gangguan pernapasan, gastrointestinal, saraf, dan sistem reproduksi hingga mengakibatkan kematian 100% pada ayam yang belum divaksin. Kasus ND yang banyak ditemukan hampir di seluruh Indonesia yaitu Subtipe GVII h dan GVII a/i. Penyakit viral ini dapat menyebabkan penurunan produksi telur, diare, sesak napas, dan kelainan saraf. Pada ayam petelur, ND dapat menyerang saat sebelum produksi (0-17 minggu) maupun saat produksi (18 minggu-afkir). Kerugian yang ditimbulkan berupa morbiditas dan mortalitas yang tinggi (bisa mencapai 80-100%) disertai dengan gangguan organ reproduksinya. Pada sistem reproduksi ditemukan adanya ovarium yang radang dan bentuknya lembek menyerupai bunga kol. Secara kuantitas, produksi telur mengalami penurunan bervariasi mulai dari 7%-60%, dari segi kualitas telur dari ayam yang terinfeksi ND biasanya berwarna pucat disertai ukuran telur yang kecil atau disebut pigeon egg.
• Avian Influenza (AI)
Kasus AI yang ada di Indonesia terdiri dari tipe High Patogenic Avian Influenza (HPAI) H5N1 yang bersifat ganas dan menimbulkan kematian yang tinggi serta Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) H9N2 yang signifikan berdampak pada penurunan produksi telur. AI H5N1 yang beredar di Indonesia saat ini terdiri dari 2 clade yang berbeda yaitu 2.3.2.1c dan 2.3.4.4b yang muncul di tahun 2022. Sesuai data Surveilans Medion, AI H5N1 clade 2.3.2.1c saat ini paling dominan ditemukan. Sedangkan AI H9N2 yang beredar di Indonesia hanya ditemukan satu clade yaitu h9.4.2.5.
Serangan AI saat ini didominasi serangan LPAI yakni subtipe H9N2 yang cenderung menyerang sistem reproduksi dan pada serangan tunggal AI H9N2 ini tidak menimbulkan angka kematian yang tinggi. Penyakit viral ini dapat menyebabkan penurunan produksi telur 20-50%, ayam lemas dan pucat, kesulitan bernapas, dan lendir keluar dari hidung dan mulut. Avian Influenza (AI) disebabkan oleh virus yang termasuk dalam genus Orthomyxovirus yang memiliki karakteristik mudah mati karena panas, sinar matahari, pelarut organik, deterjen maupun berbagai golongan desinfektan. Pada perkembangannya, virus AI memiliki 2 mekanisme dalam mengganggu organ reproduksi ayam, yaitu pembendungan pembuluh darah di ovarium dan rusaknya permukaan ovarium pada saat budding exit (keluarnya virus dari sel inang). Kedua mekanisme ini akan mengakibatkan penurunan produksi dan tidak tercapainya puncak produksi telur. Infeksi AI juga mempengaruhi kualitas telur dimana serangannya menyebabkan telur kehilangan pigmennya sehingga warna kerabang menjadi lebih pucat.
• Infectious Bronchitis (IB)
Penyakit ini menyerang area pernapasan pada ayam dan dapat menyebabkan penurunan produksi telur. Gejala IB di antaranya ngorok, bersin, dan cekrek (batuk ringan). Infectious bronchitis disebabkan oleh virus yang termasuk genus Coronavirus. Kasus IB yang ada di Indonesia terdiri dari IB klasik dan varian. Kasus IB varian yang sudah masuk di Indonesia adalah QX-like strain. Semua umur ayam peka terhadap serangan IB. Ayam muda yang berhasil sembuh dari IB, pertumbuhan dan produksinya menjadi terhambat. Alat dan saluran reproduksinya bisa mengalami kerusakan yang parah sehingga ayam petelur tidak dapat menghasilkan telur. Pada ayam petelur dewasa akan terdengar suara ngorok waktu bernapas dan terjadi penurunan produksi telur 10-50%.
Gejala lebih spesifik yang tampak pada telur ayam diantaranya bentuk telur tidak simetris, kerabang kasar atau tipis dan berwarna pucat, putih telur encer, serta adanya titik darah pada kuning telur. Setelah ayam mengalami kesembuhan, produksi telur akan naik kembali tetapi masih berada di bawah standar, ovarium tidak berkembang, lunak seperti bubur, berdarah, membengkak dan lembek. Selain itu, sering dijumpai kasus pecahnya kuning telur pada rongga perut. Pada kasus IB yang disebabkan oleh QX strain menunjukkan perubahan pelebaran oviduk yang berisi cairan bening (cystic oviduct). Hal ini bisa diketahui secara klinis apabila kejadian sudah berlangsung lama (kronis) dengan gejala perut ayam tampak membesar dan berjalan dengan mendongak seperti pinguin.
• Egg Drop Syndrome
Penyakit yang disebabkan oleh Adenovirus tipe I dan menyebabkan telur yang diproduksi memiliki kerabang tipis hingga tanpa kerabang. Egg Drop Syndrome disebabkan oleh virus yang termasuk dalam genus Adenovirus. Penyakit ini menyerang ayam beberapa minggu sebelum dan setelah mencapai puncak produksi. Penurunan produksi telur mencapai 10-40% dengan tingkat mortalitas sangat rendah bahkan tidak ada. Pada infeksi virus EDS, ayam yang terserang akan tampak sehat dan tidak memperlihatkan gejala sakit namun terjadi penurunan produksi yang sangat drastis disertai penurunan kualitas telur. Selain itu, penyakit EDS juga menyebabkan pigmen warna coklat pada kerabang telur hilang, diikuti dengan kerabang tipis, lembek dan tanpa kerabang. Gejala lain yang terlihat yaitu kegagalan mencapai puncak produksi atau keterlambatan waktu produksi telur. Telur yang dihasilkan oleh ayam yang terserang EDS juga dapat menjadi media penularan karena di dalam maupun di permukaan telur mengandung virus EDS. Virus tersebut dapat mencemari kandang, tempat telur, maupun peralatan peternakan yang lain dan dapat menulari ayam yang sehat. Dari hasil bedah ayam, dapat dijumpai perubahan patologi anatomi berupa oviduct yang menjadi kendur dan terdapat oedema (penimbunan cairan) pada jaringan subserosa-nya.
• Swollen Head Syndrome (SHS)
Salah satu penyakit yang mulai ramai muncul akhir-akhir ini adalah Swollen Head Syndrome (SHS). Pada awalnya infeksi SHS di peternakan sering dikelirukan dengan Infectious Coryza, dikarenakan gejalanya yang hampir mirip. Apabila ayam petelur terserang SHS, penurunan produksi yang terjadi bisa mencapai 5-40%, dengan angka mortalitas bisa mencapai 2%. Secara kualitas akan berdampak pada kerabang telur menjadi tipis dan tidak dapat mencapai puncak produksi. Seperti halnya infeksi di saluran pernapasan, virus aMPV pertama masuk melalui mukosa saluran pernapasan, berikutnya virus mengalami viremia atau beredar mengikuti aliran darah, lebih lanjut virus akan mencapai organ target di reproduksi yakni ovarium dan oviduk, sehingga terjadi penurunan produksi telur baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Sedangkan dampak pada kualitas telur adalah penurunan produksi telur dan warna kerabang menjadi pucat.
Gejala klinis diawali dengan adanya gangguan pernapasan berupa ngorok yang jika diobati antibiotik tidak kunjung sembuh. Ayam menjadi lemah, sering bersin, konjunctivitis berbusa dan kesulitan bernapas (dyspnea). Berikutnya diikuti pembengkakan pada area kepala dan mandibula (rahang bawah) yang mulai terlihat jelas. Pada kasus yang parah, dapat juga disertai dengan opisthotonus dan tortikolis (kejang otot dan leher terpuntir). Beberapa patologi anatomi yang muncul antara lain, jika dilakukan pembedahan, kemudian area kepala diperiksa akan muncul akumulasi cairan (eksudat) di bawah kulit kepala. Selain itu, ditemukan juga akumulasi eksudat di bagian rahang bawah (mandibula). Jika infeksi ini berlanjut, maka akan timbul infeksi sekunder yang menyertai, salah satu infeksi sekunder yang paling sering muncul adalah colibacillosis. Akibatnya muncul perkejuan pada lokasi subkutan di kepala ayam. Hal ini akan memperparah dan memperlama kesembuhan dari infeksi Swollen Head Syndrome.
Penanganan Penyakit
Setelah memperoleh kesimpulan mengenai penyakit viral apa yang telah menyerang ayam kita hingga produksi telurnya turun. Selanjutnya, kita perlu mengambil tindakan penanganan darurat. Tindakan yang diambil antara lain:
1. Culling/pisahkan ayam yang kondisinya sudah sangat parah
2. Pada prinsipnya, penyakit viral ND, AI, IB, EDS maupun SHS tidak bisa diobati jika sudah terlanjur menyerang. Meski demikian, kita bisa memberikan tindakan supportif berupa pemberian vitamin seperti Fortevit atau Vita Stress untuk meningkatkan stamina tubuh ayam. Bisa diberikan Reduvir sebagai suportif herbal yang dapat membantu meningkatkan kesehatan unggas serta mengurangi kematian pada unggas yang terinfeksi virus. Khusus pada kasus IB jika ginjalnya ditemukan bengkak, berikan Gumbonal terlebih dahulu 3-5 hari berturut-turut.
3. Lakukan revaksinasi darurat. Vaksinasi idealnya dilakukan pada kondisi ayam yang sehat. Dalam beberapa kasus tindakan vaksinasi darurat bisa dilakukan untuk menekan penyebaran virus dengan meningkatkan kekebalan ayam. Keberhasilan vaksinasi darurat ini sangat tergantung dengan status kesehatan ayam. Pada kasus IB, di mana masa inkubasi penyakit ini sangat cepat, maka tindakan vaksinasi darurat pada ayam yang sudah sakit tidak menjamin dapat menekan penyebaran penyakit. Vaksinasi darurat bisa dilakukan di kandang lain di sekitar kandang yang sakit. Demikian juga pada kasus AI. Sedangkan ND dan EDS, setelah tindakan suportif, bisa dilakukan vaksinasi ulang untuk meningkatkan titer antibodi terutama jika umur ayam masih produktif.
4. Lakukan menyemprotan kandang dan lingkungan luar kandang dengan desinfektan Medisep, Neo Antisep atau Zaldes. Sanitasi atau penyemprotan ini bertujuan untuk mengurangi populasi bibit penyakit.
5. Lakukan desinfeksi pada air minum menggunakan Desinsep untuk mengurangi penularan penyakit lewat air minum.
6. Lakukan istirahat kandang yang cukup yaitu minimal 14 hari terhitung dari kandang dibersihkan. Kemudian lakukan desinfeksi kandang kembali sebelum memulai chick-in atau pindah kandang.
Upaya Pencegahan
Pencegahan penyakit viral harus diupayakan melalui 3 aspek, yaitu penerapan biosecurity secara ketat, pelaksanaan tata laksana pemeliharaan yang baik dan vaksinasi secara tepat. Serta tambahan pencegahan yang bisa kita upayakan untuk menunjang keberhasilan produksi telur. Berikut penjelasannya :
a. Program vaksinasi rutin
Dalam menyusun program vaksinasi ND dan AI perlu mempertimbangkan beberapa aspek seperti :
Right vaccine : Vaksin yang digunakan sebaiknya mengandung virus yang homolog dengan virus lapang. Kualitas fisik vaksin pun sebelum digunakan harus dipastikan baik, artinya segel masih utuh, bentuknya tidak berubah, vaksin belum kadaluarsa, serta etiketnya terpasang dengan baik.
Right way : Rute dan teknik pemberian vaksin harus tepat. Hindari kondisi stres seperti perlakuan kasar, vaksinasi pada saat cuaca panas, serta faktor imunosupresi lainnya. Perhatikan cara handling/penanganan vaksin sejak dibeli hingga diberikan pada ayam. Sebelum diberikan ke ayam, jangan lupakan proses thawing. Pastikan jangka waktu pemberian vaksin tepat. Vaksin aktif harus habis diberikan maksimal 2 jam, sedangkan vaksin inaktif harus habis dalam waktu 24 jam. Sebelum divaksin, ayam berada dalam kondisi sehat dan tidak dalam kondisi imunosupresi.
Right time : Jadwal vaksinasi wajib disesuaikan dengan tinggi atau rendahnya challenge (tantangan) di lapangan dan baseline titer masing-masing peternakan. Program vaksinasi menjelang masa produksi seperti ND, AI, IB, dan EDS sebaiknya sudah dilakukan paling lambat 2 minggu sebelum awal produksi dan boleh divaksinasi kembali setelah melewati masa puncak produksi. Penentuan waktu revaksinasi juga dapat dilakukan berdasarkan hasil monitoring titer antibodi. Pada ayam petelur vaksinasi ND diberikan 4-5 kali sebelum memasuki periode bertelur. Pengulangan vaksinasi ND di masa produksi jika menggunakan vaksin aktif bisa dilakukan 1-2 bulan sekali, sedangkan jika menggunakan vaksin inaktif bisa dilakukan 2-3 bulan sekali. Vaksinasi AI pada ayam petelur vaksinasi dianjurkan 3 kali sebelum masuk masa produksi telur dan minimal 2 kali setelah lewat puncak produksi. Untuk IB, program vaksinasi yang ideal adalah kombinasi vaksin IB klasik dan IB varian untuk perlindungan yang lebih luas dan optimal. Pada ayam petelur, vaksinasi IB diberikan 4-5 kali sebelum memasuki fase produksi. Selanjutnya pada masa produksi pengulangan vaksinasi dapat dilakukan 1-3 bulan sekali jika menggunakan vaksin aktif dan 3-6 bulan sekali jika menggunakan vaksin inaktif. Sedangkan vaksinasi EDS pada masa pullet dilakukan pada umur 15-16 minggu atau sekitar 2-3 minggu sebelum masa produksi. Dan untuk SHS, bisa dilakukan 2x pada ayam petelur yang dapat disesuaikan dengan kondisi farm atau sesuai rekomendasi dari produsen vaksin. Tabel rekomendasi program vaksinasi pada ayam petelur selengkapnya dapat dilihat pada Artikel Suplemen “Program Vaksinasi Layer dan Aplikasinya”.
b. Suplementasi
Infestasi parasit (cacingan) serta kondisi stres juga dapat mempengaruhi produksi telur. Berikan rutin obat cacing Levamid serta multivitamin seperti Fortevit/Vita Stress untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Berikan imunomodulator seperti Imustim (sebelum dan sesudah vaksinasi) yang dapat membantu meminimalkan faktor imunosupresif dan mengoptimalkan hasil vaksinasi. Perlu ditambahkan juga suplemen vitamin seperti Egg Stimulant. Selain itu, suplementasi asam amino (methionine dan lysine), khususnya yang terkandung dalam Aminovit mampu menambah produksi dan berat telur. Selain itu, pemberian herbal Eggstima bisa membantu meningkatkan produksi telur, peningkatan berat telur dan menebalkan kerabang telur.
c. Nutrisi dan air minum tercukupi
Ukuran dan berat telur juga dipengaruhi oleh nutrisi ransum seperti protein, asam amino tertentu seperti metionin dan lisin, energi, lemak total dan asam lemak esensial seperti asam linoleat. Berikan ransum dengan nutrisi yang sesuai kebutuhan ayam di tiap periode pemeliharaannya terutama untuk kandungan protein, asam amino, energi, asam lemak, kalsium, fosfor dan vitamin D (karena sangat berperan pada pembentukan telur). Untuk mengatasi kekurangan Ca, dapat ditambahkan grit (tepung kulit kerang) dalam ransum. Lakukan pergantian ransum bertahap untuk meminimalisir stres.
Selain vitamin, penambahan premiks (Mix Plus) juga penting untuk melengkapi kebutuhan nutrisi ransum, sehingga proses metabolisme pertahanan tubuh unggas bisa berjalan maksimal. Bila kualitas ransum kurang baik, tambahkan Top Mix untuk meningkatkan kualitasnya. Berikan suplementasi mikro mineral (trace minerals) dalam ransum seperti Endomix. Selain untuk mencukupi kebutuhan mineral mikro, Endomix juga bisa meningkatkan kualitas kerabang telur.
Jika memungkinkan, lakukan uji kualitas ransum di laboratorium untuk memastikan pemenuhan nutrisi ransum sudah sesuai dengan kebutuhan ayam. Kecukupan air minum juga perlu diperhatikan. Suhu ideal air minum di kisaran 18-24°C. Pada kisaran suhu 21°C, ayam akan minum 1,8-2 kali lebih banyak dibanding makan. Ayam petelur yang kurang cukup mengonsumsi air minum selama beberapa jam bisa memengaruhi produksi telur hingga berminggu-minggu.
d. Perbaiki manajemen pemeliharaan dan biosecurity ketat
Perbaiki manajemen pemeliharaan dengan melakukan kontrol berat badan secara rutin, mengatur program pencahayaan dan ciptakan kondisi yang nyaman selama masa pemeliharaan. Sediakan air minum dan tempat minum dalam jumlah yang cukup, buka tirai lebar-lebar, pasang kipas angin, ganti sekam yang basah, dan lakukan penyebaran kapur. Selain itu juga harus menghindarkan dan meminimalkan faktor penyebab stres pada ayam seperti cuaca panas atau suara gaduh. Penerapan sistem closed house dengan penggunaan ventilasi otomatis sangat berperan dalam menciptakan kondisi kandang yang lebih nyaman.
Penerapan biosekuriti yang tepat dapat meminimalkan bibit penyakit tersebut masuk ke dalam tubuh ayam, yaitu dengan isolasi, pengendalian lalu lintas barang, orang dan kendaraan yang akan masuk lokasi farm serta dilakukannya sanitasi. Desinfeksi kandang menggunakan Medisep atau Neo Antisep untuk mengurangi populasi bibit penyakit.
e. Evaluasi kualitas pullet
Pullet yang tidak memenuhi kualifikasi biasanya akan terjadi keterlambatan bertelur. Kualitas pullet yang baik ditandai bobot badan sesuai standar dengan keseragaman berat badan >85%. Ketika masuk masa produksi (umur ±18 minggu), bobot badan ayam hendaknya sudah mencapai 1,35-1,65 kg (dari standar ISA Brown 1,5 kg). Jika bobot badan masih di bawah standar, maka ayam tersebut akan menghasilkan telur dengan ukuran dan berat lebih kecil. Jika keseragaman tinggi maka ayam akan bertelur dengan serentak sehingga mencapai puncak produksi dan persistensi produksi yang bisa bertahan lama. Kualitas ayam pullet juga dilihat dari panjang shank ±10 cm, jengger yang sudah tumbuh sempurna dan berwarna merah, serta jarak os pubis 2-3 jari. Postur tubuh tegap dan tembolok besar juga menjadi parameter penilaian. Seleksi ayam atau grading ayam total bisa dilakukan jika keseragaman sangat rendah <85%. Tujuan dari grading ini adalah untuk mengelompokkan ayam berdasarkan berat badannya yaitu kecil, sedang, dan besar. Masing-masing kelompok dipisah untuk diberikan perlakuan berbeda misalnya ayam yang kecil diberi ransum tambahan sedangkan ayam besar tidak diberikan ransum tambahan sehingga berat badannya akan sama rata dan seragam.
Dengan beberapa informasi diatas diharapkan peternak dapat mewaspadai beberapa penyakit viral pada ayam petelur serta dapat menerapkan langkah-langkah pengendalian guna mencegah masuknya infeksi di peternakan. Semoga bermanfaat.