Ransum merupakan sumber nutrisi utama bagi ternak dalam menunjang produktivitas yang optimal. Bahan baku penyusun ransum didominasi oleh biji-bijian, terutama jagung dan bungkil kedelai yang rentan mengalami kerusakan. Salah satu bentuk kerusakan yang sering ditemui pada ransum dan bahan baku ransum adalah adanya kontaminasi jamur yang menghasilkan senyawa mikotoksin (racun jamur).
Apa Itu Mikotoksin ?
Mikotoksin merupakan metabolit sekunder hasil metabolisme jamur. Beberapa jenis jamur dapat menghasilkan mikotoksin, antara lain Aspergillus, Fusarium dan Penicilium. Fang dan Broomhead (2014) menyatakan bahwa lebih dari 400 jenis mikotoksin telah teridentifikasi, namun yang paling sering menyerang unggas adalah aflatoksin, fumonisin, okratoksin, deoksinivalenol, T-2 toksin dan zearalenone. Berdasarkan hasil survei Biomin (2019), ransum jadi dan bahan baku ransum di ASEAN termasuk Indonesia terkontaminasi aflatoksin (56%), zearalenone (55%), deoksinivalenol (49%), T2 (8%), fumonisin (89%) dan okratoksin (22%).
Mikotoksin merupakan senyawa yang bersifat toksik dan sangat stabil, sehingga sangat sulit dihilangkan bahkan dengan pemanasan suhu tinggi. Dalam waktu 6 jam saja, jamur sudah bisa tumbuh dan langsung menghasilkan toksin. Disamping itu, mikotoksin juga bersifat akumulatif di dalam tubuh, sehingga paparan dalam jangka panjang akan berefek negatif pada tubuh ternak. Tabel 1 menunjukkan jenis jamur dan mikotoksin yang bisa mengontaminasi ransum maupun bahan baku ransum.
Mikotoksin dan Dampaknya pada Ayam
Ransum atau bahan baku ransum sama-sama berisiko ditumbuhi jamur dan terkontaminasi mikotoksin. Jenis mikotoksin yang mengontaminasi dapat bervarisi tergantung jenis jamur yang memproduksinya. Berikut beberapa jenis mikotoksin yang sering mengontaminasi ransum :
- Aflatoksin
Aflatoksin merupakan mikotoksin utama yang secara alami tersebar luas dan dapat mengontaminasi bahan baku ransum. Terdapat empat jenis aflatoksin, yaitu B1, B2, G1 dan G2. Namun aflatoksin B1 yang paling sering ditemukan mencemari bahan ransum terutama jagung maupun pakan jadi di Indonesia. Berdasarkan hasil survei Biomin pada tahun 2019, diperoleh hasil bahwa sampel ransum jadi dan bahan baku ransum di Asia Tenggara 60% terkontaminasi aflatoksin dengan rata-rata cemaran 47ppb, lalu diikuti fumonisin dan zealarenone.
Ahmad (2009) menyampaikan dampak kontaminasi aflatoksin pada unggas adalah pembesaran hati, limpa dan ginjal, bursa fabricius mengecil, perubahan tekstur dan warna hati (pucat), anemia, blood spot (bintik darah)pada telur, fatty liver syndrome dan adanya efek imunosupresif. Aflatoksin juga menyebabkan erosi pada ampela (gizzard erotion), perdarahan pada otot paha, pigmen warna kaki menjadi pucat dan rontoknya bulu.
- Fumonisin Fumonisin adalah jenis toksin yang sering ditemukan pada jagung impor. Fumonisin B1 merupakan jenis fumonisin yang paling sering ditemukan menyerang ternak unggas (Devreese et al., 2013). Selain aflatoksin, fumonisin juga menjadi sangat familiar di kalangan peternak Indonesia, karena mikotoksin ini sering mencemari bahan pakan terutama jagung. Secara umum, fumonisin tidak memiliki efek toksik yang signifikan dibandingkan jenis mikotoksin lainnya. Fumonisin memiliki tingkat toksisitas yang rendah pada ayam (Lesson et al. 1995) dan ayam layer relatif lebih toleran terhadap fumonisin dengan konsentrasi tinggi dalam jangka panjang tanpa mempengaruhi performa dan kesehatan ayam tersebut (Henry dan Wyatt, 2001).
- Okratoksin Jamur yang memproduksi okratoksin adalah Aspergillus dan Penicilium. Okratoksin A diproduksi optimal pada suhu 25-28oC (Widiastuti, 2014). Toksin jenis ini merupakan toksin yang paling berbahaya dibandingkan dengan jenis toksin lainnya pada unggas. Target organ dari okratoksin adalah ginjal, sehingga ayam yang terkontaminasi okratoksin tingkat mortalitasnya sangat tinggi. Santin et al. (2002) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kontaminasi okratoksin A sebanyak 2 ppm secara signifikan dapat menurunkan berat badan, meningkatkan FCR, berat hati dan ginjal. Disamping itu, Sauvant et al. (2005) menyatakan bahwa okratoksin A bersifat nefrotoksin yang menyebabkan kerusakan ginjal dan anemia pada ayam broiler muda.
- Deoksinivalenol dan T-2 Toksin Kedua jenis toksin ini termasuk ke dalam golongan trichothecenes, dimana golongan ini terbagi menjadi empat grup toksin yaitu A, B, C dan D. Setiap grup mempunyai ciri khas tertentu. Toksin jenis T-2 dan HT-2 termasuk ke dalam grup A, sedangkan deoksinivalenol (DON) termasuk ke dalam grup B (Devreese et al., 2013). Ahmad (2009) menyatakan bahwa efek negatif dari deoksinivalenol adalah menurunnya nafsu makan (anoreksia) dan muntah. Sedangkan untuk T-2 toksin, sasaran utamanya adalah sistem kekebalan, antara lain diketahui dari perubahan jumlah leukosit atau pengurangan antibodi. T-2 toksin juga menyebabkan luka pada pangkal mulut dan penurunan kualitas kerabang telur (Petska 2007).
- Zearalenone Zearalenone diproduksi oleh Fusarium graminearum yaitu toksin yang bersifat estrogenic (mempengaruhi produksi hormon estrogen) dan dapat menyebabkan gangguan pada sistem reproduksi, kematian embrio telur, dan penurunan titer antibodi pada ayam indukan broiler (Yegani et al., 2006).Widiastuti (2006) menyatakan bahwa zearalenone mempunyai aktivitas estrogenik terhadap babi, sapi perah, anak kambing, ayam, kalkun dan kelinci, namun hewan yang paling peka terhadap zearalenon adalah babi.
Perkembangan Kasus Mikotoksikosis
Bagaimanakah perkembangan kasus mikotoksikosis di lapangan? Berikut adalah data kasus mikotoksikosis yang dihimpun oleh tim Technical Education and Consultation Medion pada tahun 2019. Grafik 1. menunjukkan jumlah kasus yang bervariasi setiap bulannya, namun kejadian cenderung tinggi di awal dan akhir tahun saat curah hujan sedang tinggi. Hal tersebut karena kondisi yang hangat dan lembap akan mendukung perkembangan jamur yang lebih subur. Jamur tumbuh dan berkembang subur pada suhu 27-40°C dan kelembapan relatif 85%.
Efek Mikotoksin
Bagaimana efeknya apabila terdapat lebih dari satu jenis mikotoksin yang mengontaminasi ternak? Pedrosa dan Borutova (2011) menjelaskan bahwa terdapat efek sinergis dan efek aditif apabila terdapat lebih dari satu jenis mikotoksin yang mengontaminasi ransum atau bahan baku ransum.
Jamur yang tumbuh akan langsung menghasilkan mikotoksin. Jamur bisa terlihat kasat mata, namun tidak demikian dengan mikotoksin yang dihasilkan. Mikotoksin dapat terlihat dengan bantuan lampu ultraviolet (UV) yang akan menghasilkan pendaran cahaya (biru keunguan).
Toxin Binder Solusi Efektif Mengatasi Mikotoksin
Mikotoksin memiliki sifat kimiawi yang sangat stabil dan dengan kadar berapapun akan memberikan dampak negatif terhadap performa ayam karena sifatnya yang terakumulasi di dalam tubuh. Mikotoksin ini bisa dipastikan seperti bahaya yang tersembunyi (bahaya laten). Perlakuan fisik seperti pemanasan maupun secara kimiawi untuk menurunkan level mikotoksin terbukti tidak efektif, mahal dan berpengaruh negatif terhadap kandungan nutrisi di dalam ransum. Penambahan toxin binder menjadi solusi efektif dan paling banyak dilakukan untuk mengikat mikotoksin sehingga tidak “aktif” saat berada di dalam saluran pencernaan.
Freetox merupakan salah satu inovasi dari Medion untuk membantu peternak dalam mengatasi mikotoksin. Freetox mempunyai 4 keunggulan dibandingkan dengan produk toxin binder sejenis, yaitu :
- Freetox memiliki kandungan Al2O3 yang lebih tinggi sebagai kunci untuk mengikat mikotoksin.
- Struktur lapisan Freetox lebih banyak, seragam, dan presisi (sesuai dengan ukuran partikel mikotoksin) karena dalam proses pembuatannya menggunakan nano teknologi.
- Dengan dosis yang sama, mampu mengikat mikotoksin lebih banyak. Hal ini dikarenakan struktur lapisan dan kandungan Al2O3 Freetox lebih tinggi sehingga daya ikat terhadap mikotoksin lebih banyak.
- Aman, Freetox tidak mengikat nutrisi lain di dalam pakan seperti vitamin, mineral maupun obat.
Pencegahan kontaminasi mikotoksin pada ransum maupun bahan baku ransum perlu dilakukan secara terpadu dan menyeluruh. Penggunaan toxin binder perlu didukung dengan manajamen yang baik, diantaranya dengan mempertahankan kadar air kurang dari 14%, manajemen penyimpanan ransum yang baik (suhu, kelembapan, sirkulasi udara), penggunaan pallet, menerapkan sistem first in first out (FIFO) dan first expired first out (FEFO), serta manajemen pemberian pakan dan air minum yang baik (pembersihan tempat ransum, air minum dan karung yang digunakan untuk mengangkut ransum). Jika diperlukan bisa ditambahkan mold inhibitor untuk menghambat pertumbuhan jamur dengan menggunakan asam propionat (dosis 0,5-1,5 g/kg ransum), gentiana violet (0,5-1,5 g/kg ransum) atau thiabendazole (100 mg/kg ransum).
Demikian sekilas informasi terkait mikotoksin. Semoga dapat membantu kita lebih mewaspadai ancaman jamur dan racun yang dihasilkannya.