Pertengahan Januari 2017 publik dihebohkan dengan adanya kasus antraks yang terjadi di Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurut berita yang beredar, merebaknya kasus ini diawali dengan adanya kematian seekor sapi yang diikuti dengan kematian beberapa ekor kambing (Harian Jogja, 2017). Kasus antraks pertama kali ditemukan di Teluk Betung Provinsi Lampung pada tahun 1884. Selain Lampung, antraks juga pernah dilaporkan terjadi di daerah Banten, Padang, Jambi, Nusa Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara.

Apa itu Antraks?

Antraks atau anthrax adalah penyakit infeksi bakterial yang disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis. Antraks dalam bahasa Yunani berarti ‘batubara’. Istilah ini digunakan karena pada kulit ternak yang terserang antraks akan berubah menjadi hitam. Penyakit antraks bersifat zoonosis yang artinya dapat ditularkan dari hewan pemakan rumput (sapi, kambing, domba, dan lain-lain) ke manusia, namun tidak dapat ditularkan dari manusia ke manusia. Manusia dapat terinfeksi penyakit ini bila endospora berhasil masuk ke tubuh melalui kulit dengan luka terbuka, hirupan udara, maupun makanan yang terkontaminasi.

Seputar Bacillus anthracis

Bacillus anthracis merupakan bakteri Gram positif berbentuk batang dan berkapsul dengan ukuran panjang 3-5 μm dan lebar 1-3 μm. Masa inkubasi selama 48 jam. Bakteri ini dapat membentuk spora, bersifat non motil/tidak dapat bergerak dengan sendirinya, tahan dalam keadaan asam, dan sensitif terhadap antibiotik golongan Penicilin.

 

Bacillus anthracis memiliki dua tahap dalam siklus hidupnya yaitu:

  1. Fase Vegetatif

Dapat tumbuh pada suhu 12-44°C dan optimum pada suhu 35-37°C, namun dapat mati pada suhu 54°C selama 30 menit. Fase ini peka terhadap antibiotik (Medoxy-LA), antiseptik, dan proses pembusukan. Fase ini diawali bila spora mulai masuk di tubuh hospes/inang, ia akan berubah menjadi bentuk vegetatif dan berkembangbiak.

Bentuk vegetatif hidup pada kondisi oksigen rendah di dalam tubuh hospes yang terinfeksi. Bentuk ini dapat masuk ke dalam aliran darah lalu dikeluarkan dari dalam tubuh melalui pendarahan di hidung, mulut, anus, atau pendarahan lainnya. Ketika inang/hospes mati dan oksigen tidak tersedia lagi di dalam darah menyebabkan bentuk vegetatif ini menjadi dorman/tidak aktif. Bila keadaan dorman ini kontak dengan oksigen di udara bebas, bentuk vegetatif ini akan membentuk spora (sporulasi). Itulah sebabnya penanganan kasus antraks pada hewan yang terlanjur mati tidak boleh dilakukan bedah bangkai terhadap hewan tersebut dan harus dikubur di tempat terjadinya kasus untuk meminimalisir penyebaran antraks.

  1. Fase Spora

    Sporulasi terjadi bila bentuk vegetatif dorman bertemu dengan oksigen pada suhu 15-44°C dan optimum pada suhu 25-30°C. Sementara bentuk spora ini dapat mati pada suhu 140°C selama 3-4 jam, H2O2 selama 60 menit, dan formalin 10% selama 4 jam. Spora dapat bertahan/resisten pada berbagai jenis desinfektan dan proses pengolahan kulit hewan.

Gejala Klinis Antraks

Tanda-tanda yang dapat muncul pada hewan yang terserang antraks (umumnya pada sapi, kambing, dan domba) sebagai berikut:

  • Kematian mendadak tanpa disertai gejala klinis.

  • Suhu tubuh meningkat hingga 42°C dan terlihat lesu.

  • Bila tidak diobati, hewan akan mati setelah 2-3 hari dan hewan terlihat kaku serta gemetaran.

  • Darah dapat keluar dari lubang alami tubuh seperti: anus, telinga, mulut, hidung, dan alat reproduksi eksternal.

  • Darah yang keluar dari tubuh berwarna hitam dan cenderung tidak mudah membeku.

  • Pada kasus yang sangat akut, hewan yang terlihat sehat, secara mendadak dapat kehilangan kesadaran disertai kelumpuhan lalu dapat mati dalam hitungan menit atau jam.

  • Karkas hewan yang terserang antraks biasanya bengkak dan cepat membusuk.

Selain melihat gejala klinis, untuk memastikan hewan terkena antraks dapat dilakukan beberapa uji diagnosa. Bila hewan masih dalam keadaan sakit atau sudah mati dapat dilakukan diagnosa cepat dengan pengambilan sampel darah untuk pewarnaan Gram dan diidentifikasi morfologi bakterinya. Pengujian lainnya yang lebih akurat dapat dilakukan dengan isolasi dan identifikasi bakteri Bacillus anthracis, PCR, dan uji serologi (ELISA).

Pencegahan Antraks

Beberapa prinsip pencegahan antraks yang perlu dilakukan antara lain:

  1. Pengendalian penyebaran wabah antraks

    Lakukan pengendalian dan pengawasan lalu lintas ternak. Ternak yang diijinkan keluar dan masuk suatu daerah harus berasal dari daerah yang tidak ada laporan kasus antraks dalam 20 hari terakhir. Ternak harus memiliki Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH), dan tidak ada gejala klinis pada hari pengiriman.

  2. Melakukan vaksinasi pada ternak di daerah tertular (endemik)

    Lakukan vaksinasi rutin secara masal untuk pencegahan terhadap hospes seperti sapi, kerbau, kambing, domba. Vaksin harus tersedia dalam jumlah cukup untuk memenuhi kebutuhan terutama di daerah endemis dan sekitarnya.

  3. Meningkatkan daya tahan tubuh

    Selain vaksinasi, peningkatan daya tahan tubuh hewan dengan vitamin (ADE-Plex Injeksi) dirasa penting sebagai pencegahan dari dalam tubuh hewan.

Bagaimana penanganan Antraks?

Selanjutnya untuk menangani sapi-sapi yang sudah terlanjur terserang antraks, peternak bisa melakukan beberapa tindakan berikut ini:

  1. Setiap kasus kejadian atau dugaan antraks wajib dilaporkan kepada dinas peternakan setempat, untuk menentukan langkah penanganan terhadap hewan yang diduga/terserang antraks. Hal ini perlu dilakukan karena dampaknya bisa sangat luas apabila dilakukan penanganan yang salah. Masih munculnya penyakit anthraks dikarenakan belum ada koordinasi yang matang.

  2. Hewan yang sakit dapat diberikan pengobatan dengan antibiotik dari golongan Penisilin dan Tetrasiklin secara injeksi selama 2 minggu (dalam kondisi isolasi). Hewan dapat dikeluarkan dari isolasi apabila hewan sudah tidak menunjukkan gejala sakit selama 14 hari dari awal serangan. Tentu saja penanganan ini didukung pengawasan dinas peternakan setempat.

  3. Seperti yang sudah tertulis sebelumnya, hewan yang mati karena antraks tidak boleh dibedah karena dikhawatirkan bentuk vegetatif dari bakteri Bacillus anthracis yang sudah dorman akan kontak dengan oksigen di udara bebas dan akan membentuk fase spora, dimana fase ini adalah fase infektif dan lebih resisten terhadap desinfektan dibanding fase vegetatif. Untuk itu bangkai hewan tersebut harus segera dikubur di lokasi terjadinya kasus untuk meminimalisir penyebaran spora. Tidak hanya hewan yang mati saja, produk asal hewan yang terbukti terkontaminasi bakteri antraks pun wajib dikubur.

  4. Penguburan dilakukan sedalam 2 meter dan dilakukan pembakaran terhadap bangkai hewan. Setelah hewan dimasukkan dalam lubang kubur segera taburkan kapur aktif di atasnya. Apabila cara tersebut tidak memungkinkan dilakukan, hewan tersebut dapat dibiarkan membusuk di lokasi terjadinya kasus, karena bakteri dalam fase vegetatif (dalam tubuh hewan) akan mati dalam suasana pembusukan. Selain itu lubang-lubang alami hewan sebagai tempat keluarnya darah dan tanah di sekitarnya perlu disiram dengan menggunakan formalin (Formades) dan dibiarkan menggenang minimal selama 4 jam.

Setelah mengetahui lebih mendalam mengenai penyakit antraks diharapkan kita dapat melakukan tindakan pencegahan agar kejadian tersebut tidak terjadi hingga merugikan praktik manajemen peternakan kita. Semoga bermanfaat. Salam.


Info Medion Edisi Maret 2017

Jika Anda akan mengutip artikel ini, harap mencantumkan artikel bersumber dari Info Medion Online (http://info.medion.co.id).

Kasus Antraks yang Terdengar Marak
Subscribe To Our Newsletter
We respect your privacy. Your information is safe and will never be shared.
Don't miss out. Subscribe today.
×
×
WordPress Popup Plugin