Keberhasilan pencapaian produksi telur bisa dilihat dari 2 nilai yaitu nilai kuantitas/jumlah produksi (Hen day/HD) dan kualitas. Jika persentase jumlah produksi telur tinggi namun kualitasnya rendah, maka peternak akan menghadapi masalah terkait ekonomi karena telur dengan kualitas rendah tidak akan laku di pasaran. Demikian pula sebaliknya, jika kualitasnya bagus namun persentase produksinya rendah maka peternak tetap akan mengalami kerugian ekonomi.
Secara garis besar ada dua penyebab utama yang mengakibatkan turunnya produksi telur yaitu disebabkan oleh faktor infeksius dan non infeksius. Seringkali kedua faktor tersebut terkait satu sama lain dan menghasilkan dampak yang lebih besar. Berikut ini merupakan faktor-faktor penyebab utama terjadinya penurunan produksi pada peternakan ayam petelur, antara lain :
- Faktor infeksius (penyakit)
Faktor penyakit selama ini dianggap sebagai salah satu penyebab utama penurunan produksi telur pada ayam petelur. Penyakit menyebabkan berbagai disfungsi organ, baik itu organ pencernaan, pernapasan, syaraf maupun organ reproduksi yang secara langsung berhubungan dengan produksi telur. Diantara jenis penyakit tersebut yang sering menjadi buah bibir peternak ayam petelur adalah Newcastle Disease (ND), Avian Influenza (AI), Infectious Bronchitis (IB) dan Egg Drop Syndrome (EDS).
Pada perkembangannya, virus AI memiliki 2 mekanisme dalam mengganggu organ reproduksi ayam, yaitu pembendungan pembuluh darah di ovarium dan rusaknya permukaan ovarium pada saat budding exit atau keluarnya virus dari sel. Kedua mekanisme ini akan mengakibatkan penurunan bahkan menghentikan produksi telur. Infeksi AI juga mempengaruhi kualitas telur dimana serangannya menyebabkan telur kehilangan pigmennya sehingga warna kerabang menjadi lebih pucat.
Perubahan pada organ reproduksi akibat ND yaitu indung telur mengecil, selaput telur membengkak dan terjadi perdarahan. Begitu juga pada infeksi virus EDS, oviduct menjadi kendur dan terdapat oedema (pembengkakan) pada jaringan sub-serosa-nya. Selain itu, penyakit EDS juga menyebabkan warna coklat pada kerabang telur hilang, diikuti dengan kerabang tipis, lembek dan tanpa kerabang. Pada kasus serangan IB, ovarium tidak berkembang, lunak seperti bubur, berdarah, membengkak dan lembek.
Selain itu sering dijumpai kasus pecahnya kuning telur pada rongga perut. Kasus cystic oviduct juga semakin meningkatkan keparahan serangan IB. Dari segi kualitas telur yang dihasilkan, kasus IB menyebabkan warna telur menjadi lebih pucat, ukuran telur lebih kecil, putih telur encer, kerabang menjadi tipis dan mudah pecah.
Kerusakan atau gangguan pada sistem reproduksi akibat infeksi salah satu penyakit penurunan produksi telur tersebut akan mengakibatkan produksi telur menurun. Penurunan produksi telur akibat serangan virus IB berkisar 10-50%, EDS menurun 20-40% dan LPAI bisa mencapai 80%, sedangkan pada kasus ND berbeda-beda tergantung dari status kekebalan.
2. Faktor non infeksius
Tidak hanya penyakit yang dapat menurunkan produksi telur, faktor non infeksius juga berperan penting dalam penentuan turun atau tidaknya produksi telur. Beberapa faktor non infeksius yang dapat mempengaruhi produksi telur yaitu:
a. Kualitas pullet
Kualitas pullet yang bagus ditandai dengan keseragaman > 85% untuk berat badan, kerangka dan sexual maturity. Pullet yang bagus juga dilihat dari postur tubuh yang tegap dan tembolok besar. Kasus yang disebabkan oleh kualitas pullet yang kurang baik ditandai dengan ciri-ciri memiliki berat badan dan keseragaman pullet yang rendah. Keseragaman pullet yang rendah ini dapat mengakibatkan ketidakseragaman awal produksi dan tidak seragamnya ukuran telur yang dihasilkan. Adanya pullet yang mempunyai jarak tulang pubis yang sempit juga menjadi ciri tersendiri yang mengakibatkan ayam tersebut mempunyai ukuran telur yang lebih kecil.
b. Nutrisi ransum dan air minum
Kualitas ransum yang buruk, nutrisinya kurang atau tidak seimbang serta ransum yang mengandung zat racun/antinutrisi dapat menyebabkan penurunan produksi telur. Demikian halnya dengan kecukupan air minum.
Ukuran dan berat telur juga dipengaruhi oleh nutrisi ransum seperti protein, asam amino tertentu seperti methionine dan lysine, energi, lemak total dan asam lemak esensial seperti asam linoleat. Tidak terpenuhinya kebutuhan dari salah satu nutrisi tersebut melalui asupan ransum, maka akan mengurangi berat telur. Bahkan jika hal tersebut terjadi pada petelur produksi sebelum umur 40 minggu, bisa berakibat pada penurunan jumlah produksi telur.
Selain itu, harus diperhatikan pula keseimbangan antara Ca dan P (fosfor), dimana perbandingannya adalah 5-6 : 1. Peranan Ca dan P saling terkait dan mempunyai hubungan yang menunjang satu sama lain. Nutrisi yang juga penting untuk diperhatikan kadarnya dalam ransum ialah mineral garam (NaCl). Ayam yang kurang mengonsumsi garam akan menunjukkan gejala rontok bulu (mematuk ayam lain atau mematuk bulunya sendiri) atau mengalami penurunan nafsu makan.
Begitupun pada ayam yang mengonsumsi terlalu banyak garam, akan meningkatkan konsumsi air minumnya dan menurunkan konsumsi ransum. Akibatnya nutrisi yang dibutuhkan untuk membentuk telur berkurang dan penurunan produksi pun akan terjadi. Berikan ransum dengan kadar garam 0,3-0,4%. Seringkali kasus ketidakseimbangan nutrisi berdampak pada pencapaian berat badan (BB) ayam yang tidak sesuai dengan standar. Saat memasuki masa produksi, ayam dengan BB di bawah standar tidak akan memulai produksi telur dan jika berproduksi pun akan dihasilkan telur berukuran kecil dalam waktu yang relatif lama.
c. Manajemen pemeliharaan
Kegagalan manajemen pemeliharaan ayam petelur tak pelak lagi juga mengakibatkan penurunan jumlah produksi dan kualitas telur. Tindakan manajemen tersebut mencakup banyak hal, antara lain sebagai berikut :
- Kurangnya pencahayaan atau tidak cukupnya intensitas cahaya Ayam petelur yang sudah memasuki masa produksi telur, membutuhkan 16 jam pencahayaan untuk memelihara jumlah produksi telur tetap optimal. Faktor pencahayaan saat masa pullet juga berhubungan erat dengan pencapaian berat, ukuran telur dan kematangan saluran reproduksi. Secara umum ayam yang mengalami kematangan seksual terlalu dini (belum cukup umur) akan memproduksi telur dengan ukuran kecil. Demikian juga sebaliknya ketika kematangan seksual terlambat, maka ayam akan memproduksi telur dengan ukuran besar (abnormal).
- Stres Stres dapat menyebabkan turunnya produksi telur. Stres yang biasa terjadi meliputi stres akibat perubahan cuaca/suhu (kedinginan atau kepanansan), pindah kandang, serangan parasit dan perlakuan kasar. Stres yang ditimbulkan akibat suara gaduh atau perlakuan kasar dapat menyebabkan proses pembentukkan kerabang telur tidak berlangsung secara sempurna.
Berdasarkan berbagai faktor yang telah dijabarkan di atas, maka tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah yang berkaitan dengan produksi telur adalah :
Faktor infeksius
Untuk mengatasi masalah penurunan produksi yang bekaitan dengan faktor infeksius, dalam hal ini harus dilakukan upaya pencegahan dengan menerapkan pelaksanaan program vaksinasi dan penerapan biosekuriti. Ayam petelur yang telah memasuki masa produksi, sebaiknya dilakukan monitoring titer antibodi terhadap ND, AI, EDS dan IB secara rutin.
Faktor non infeksius
- Perbaiki manajemen pemeliharaan Perbaiki menejemen pemeliharaan dengan melakukan kontrol berat badan secara rutin, mengatur program pencahayaan dan ciptakan kondisi yang nyaman selama masa pemeliharaan. Sediakan air minum dan tempat minum dalam jumlah yang cukup, buka tirai lebar-lebar, pasang kipas angin, ganti sekam yang basah, dan lakukan penyemprotan kandang dengan menggunakan desinfektan seperti Antisep atau Neo Antisep. Selain itu juga harus menghindarkan dan meminimalkan faktor penyebab stres pada ayam seperti cuaca panas atau suara gaduh. Jika perlu, ayam dipuasakan makan 1-2 jam selama cuaca panas pada siang hari untuk mengurangi panas yang dikeluarkan oleh tubuhnya.
- Penuhi kebutuhan nutrisi ransum Berikan ransum dengan nutrisi yang sesuai kebutuhan ayam di tiap periode pemeliharaannya terutama untuk kandungan protein, asam amino, energi, asam lemak, kalsium, fosfor dan vitamin D (karena sangat berperan pada pembentukan telur). Untuk mengatasi kekurangan Ca, dapat ditambahkan grit(tepung kulit kerang) dalam ransum, selain pemberian grit, perlu ditambahkan juga suplemen vitamin seperti Strong Egg atau Egg Stimulant. Egg Stimulant juga berguna untuk mempercepat tercapainya produksi telur yang maksimal sekaligus mempertahankan produksi telur tetap tinggi. Selain itu, suplementasi asam amino (methionine dan lysine), khususnya yang terkandung dalam Aminovit dan Top Mix mampu menambah produksi dan berat telur.