Salah satu penyakit parasit yang umum ditemukan pada peternakan ayam baik petelur atau pejantan adalah cacingan. Risiko ayam tertular cacingan dapat terjadi pada berbagai macam kondisi terutama pada kandang dengan kebersihan yang kurang terjaga. Tentunya penyakit cacingan ini banyak merugikan peternak karena dapat menyebabkan penurunan bobot badan ayam, menurunkan produktivitas ayam serta membuat kesehatan ayam terus menurun. Namun tidak jarang peternak yang belum menaruh perhatian terhadap penyakit ini karena gejalanya yang kurang spesifik atau tingkat kematian yang tidak tinggi.
Terdapat berbagai macam jenis cacing yang sering menyerang kesehatan ayam. Secara garis besar apabila dikelompokkan terdapat cacing gilig (nematoda) seperti Ascaridia galii dan cacing pita (cestoda) seperti Raillietina sp.. Namun akhir-akhir ini ditemukan juga kasus cacingan yang tidak termasuk dalam kelompok cacing gilig atau pun cacing pita, yaitu cacing Acanthocephala.
Kasus Cacing Acanthocephala pada Unggas
Di Indonesia, awal dilaporkannya kasus cacing Acanthocephala pada ayam terjadi di Yogyakarta. Selanjutnya ditemukan juga daerah Jawa Tengah yaitu Magelang, Klaten dan Solo. Hasil dari identifikasi spesies Acanthocephala yang ditemukan di Yogyakarta dan Jawa Tengah adalah Mediorhynchus gallinarum. Beberapa tahun belakangan ini, tim Medion juga menemukan kasus cacing Acanthocephala pada peternakan ayam di daerah Jawa Timur yaitu Blitar dan Mojokerto.
Cacing Acanthocephala memiliki bentuk tubuh yang berbentuk bilateral simetris seperti ulat. Tubuh cacing dewasanya dapat dibedakan menjadi tiga bagian yaitu probosis, leher, dan badan. Probosis yang berada di bagian anterior cacing digunakan sebagai pengait untuk menempelkan dirinya pada bagian dinding mukosa usus dari inang. Cacing ini memiliki kesamaan dengan cacing pita pada pencernaannya yang menyerap nutrisi dari saluran usus ayam melalui pori-pori yang terdapat pada seluruh tubuh cacing.
Siklus hidup dari cacing Acanthocephala terjadi secara tidak langsung dan membutuhkan dua inang yaitu inang perantara dan inang definitif. Ayam yang sudah terinfeksi akan mengeluarkan telur cacing yang mengandung fase larva (acanthor) bersamaan dengan feses. Telur cacing yang berada di lingkungan tersebut akan termakan oleh inang perantara berupa hewan crustasea dan insekta seperti kecoa dan lalat. Pada tubuh inang perantara akan terjadi perkembangan siklus hidup stadium muda/larva dari cacing Acanthocephala. Acanthor akan keluar dari membran telur pada saluran pencernaan inang perantara dan bermigrasi ke ruang tubuh. Setelah bermigrasi acanthor akan berkembang ke fase larva berikutnya yaitu acanthella dan terus berkembang menjadi cystacanth. Selanjutnya stadium larva akan berkembang menjadi stadium cacing dewasa apabila termakan oleh inang definitif. Stadium dewasa cacing ini hidup pada saluran pencernaan inang definitif hewan vertebrata seperti unggas.
Dampak Cacingan pada Kesehatan Ayam
Umumnya penyakit cacingan tidak menunjukkan gejala yang spesifik dan jarang menyebabkan kematian. Akibatnya penyakit ini tidak jarang dihiraukan, namun sebenarnya penyakit ini dapat menyebabkan kerugian ekonomi. Walaupun tidak menunjukkan gejala yang spesifik, cacingan dapat menyebabkan beberapa gejala yang dibedakan berdasarkan tingkat keparahannya.
Pada kasus cacingan dengan tingkat keparahan yang ringan, infestasi cacing di saluran pencernaan ayam masih dalam jumlah sedikit. Gejala klinis yang dapat terlihat seperti penurunan produksi namun ayam masih tampak relatif aktif dan sehat. Sedangkan pada tingkat keparahan yang berat akan terjadi penurunan nafsu makan, pertumbuhan terhambat, penurunan produksi yang signifikan, dan diare. Hal tersebut dapat terjadi karena kesehatan usus yang sudah terganggu. Pada kasus infestasi yang berat juga dapat ditemui cacing dewasa yang keluar bersamaan dengan feses. Kondisi tubuh ayam pun dapat terlihat pucat, kurus dengan bulu yang kasar.
Perubahan patologi pun dapat terlihat pada kasus infestasi cacing Acanthocephala yang berat. Usus ayam akan mengalami peradangan (enteritis) yang ditandai dengan terjadinya penebalan pada dinding usus, adanya nodul-nodul pada dinding usus dan disertai adanya perdarahan (haemoragi).
Pengendalian Cacing Acanthocephala
Upaya pengendalian kasus cacingan harus dilakukan secara komprehensif dalam tindakan pencegahan maupun penanganannya. Berikut hal-hal yang bisa dilakukan dalam mencegah kasus cacingan:
- Perhatikan sanitasi kandang dengan tidak membiarkan feses di kandang terlalu menumpuk.
- Meminimalkan populasi inang perantara seperti lalat di sekitar kandang karena dapat berperan sebagai inang perantara. Gunakan Larvatox yang dicampur dengan pakan untuk meminimalkan larva lalat. Sedangkan untuk membasmi lalat dewasa gunakan Flytox dengan cara ditaburkan pada alas yang sudah dibasahi lalu ditempatkan di daerah yang banyak dihinggapi lalat.
- Berikan obat cacing secara berkala setiap 1-2 bulan sekali. Obat cacing perlu diberikan rutin untuk memutus siklus hidup cacing di tubuh ayam sehingga kesehatan usus dapat tetap terjaga.
- Lakukan monitoring telur cacing dengan pemeriksaan feses secara rutin yang bisa dilakukan di MediLab. Pemeriksaan telur cacing dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis. Sampel feses harus diambil langsung dari kloaka ayam atau feses segar yang baru dikeluarkan dan jika tidak langsung diperiksa perlu diawetkan terlebih dahulu dalam formalin 10%. Selanjutnya sampel feses dapat diperiksa menggunakan mikroskop.Monitoring ini diperlukan untuk mengetahui ada tidaknya telur cacing pada tubuh ayam secara kualitatif (jenis telur cacing) dan secara kuantitatif (jumlah telur cacing). Hasil monitoring ini dapat dijadikan bahan evaluasi dari program pencegahan atau pun pengobatan cacingan yang telah dilakukan.
Penanganan kasus cacingan dapat dilakukan dengan pemberian obat cacing. Hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian obat cacing adalah zat aktif yang terkandung di dalamnya karena akan berpengaruh terhadap spektrum kerjanya. Pemilihan obat cacing dikatakan tepat jika mempunyai spektrum kerja yang sesuai dengan jenis cacing yang menyerang sehingga pengobatannya akan efektif. Pada penanganan kasus Acanthocephala tidak semua obat cacing menunjukkan hasil yang efektif. Beberapa zat aktif yang efektif membasmi Acanthocephala adalah albendazole dan levamisole. Contoh produk yang bisa digunakan adalah Wormzol Suspensi dan Levamid.
Wormzol Suspensi adalah obat cacing dengan kandungan albendazole yang memiliki spektrum luas. Selain mampu mengatasi Acanthocephala, obat cacing ini mampu membasmi jenis cacing lainnya seperti cacing pita dan cacing gilig. Pemberian Wormzol Suspensi dilakukan melalui campur air minum dengan dosis 0,1 ml/kg berat badan ayam. Air minum yang telah dicampur Wormzol Suspensi harus habis dalam waktu 2 jam, sehingga air minum yang disediakan perlu disesuaikan dengan kebutuhan minum dalam waktu tersebut. Hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian Wormzol Suspensi adalah tidak direkomendasikan pemberian menggunakan nipple drinker atau automatic dosing pump.
Levamid merupakan obat cacing yang mengandung kombinasi antara levamisole dan niclosamide. Kombinasi kedua zat aktif tersebut menghasilkan obat cacing yang memiliki spektrum luas sama seperti Wormzol Suspensi. Pemberian Levamid dilakukan melalui campur ransum dengan dosis 0,2 gram/kg berat badan ayam. Cara pencampuran Levamid ke dalam ransum perlu dilakukan bertahap supaya dapat dipastikan tercampur rata. Pertama campur Levamid ke dalam ransum dengan jumlah yang sedikit (kurang lebih 25% dari keseluruhan ransum) lalu aduk hingga rata. Selanjutnya ransum yang sudah mengandung Levamid tersebut campur ke dalam keseluruhan ransum (75% ransum sisanya) lalu aduk kembali menggunakan sekop atau mixer horizontal sampai homogen. Ketika diberikan kepada ayam, ransum yang sudah mengandung Levamid tersebut harus habis dalam waktu 2 – 4 jam. Oleh karena itu, jumlah ransum yang diberikan perlu disesuaikan dengan kebutuhan pakan ayam selama waktu tersebut.
Cacingan merupakan penyakit parasit yang seringkali dianggap sepele namun perlahan tapi pasti menimbulkan berbagai macam kerugian. Oleh karena itu, diperlukan strategi yang komprehensif dalam mengendalikan kasus cacingan. Manajemen yang baik, sanitasi dan biosekuriti yang ketat, pemberantasan vektor penyakit serta pemberian obat cacing secara rutin penting dilakukan untuk memutus siklus hidup cacing.