Keberhasilan suatu usaha peternakan ditentukan oleh empat faktor yaitu genetik, nutrisi, lingkungan dan manajemen pemeliharaan. Keempat faktor tersebut merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan dalam menunjang keberhasilan pemeliharaan.

Kenyataan di lapangan, masih banyak peternak ayam petelur yang mengeluhkan sulitnya mencapai standar performa ayam sesuai dengan standar guideline tiap strain-nya. Berbagai permasalahan yang biasa dikemukakan seperti produksi tidak mencapai puncak, produksi cepat turun, berat telur di bawah standar sehingga mengakibatkan konversi ransum yang membengkak dan pada akhirnya mengganggu laju pendapatan. Oleh karena itu, fokus artikel ini mengenai kiat mencapai produksi telur yang maksimal akan kami uraikan.

Ayam Petelur Modern

Ayam petelur modern merupakan ayam hasil rekayasa genetik dengan potensi mampu menghasilkan telur dalam jumlah banyak (hen day tinggi, red) dan intensitas waktu yang lama (persistensi produksi telur baik, red), serta mendapatkan tingkat efisiensi ransum yang baik. Meskipun demikian, ayam petelur modern ternyata memiliki beberapa sisi kekurangan. Salah satunya yaitu relatif sulit mencapai berat badan standar terutama ketika fase starter serta memasuki awal produksi hingga puncak. Selain itu, ketertinggalan berat badan tersebut sulit dikompensasi saat fase pemeliharaan berikutnya. Ayam petelur modern saat ini juga lebih sensitif terhadap perubahan lingkungan dan ransum.

Jika diikuti dengan penerapan tata laksana pemeliharaan yang baik, seekor ayam petelur mampu menghasilkan 420 butir telur selama satu kali siklus produksi (umur 18-90 minggu). Hal ini meningkat signifikan dibanding tahun 2007 yang rata-rata per siklusnya masih menghasilkan 321 butir telur. Begitu juga dengan nilai FCR yang semakin baik dari tahun ke tahun.

Genetik ayam yang berubah juga berdampak pada umur produksi yang bisa panjang. Afkir yang biasanya dilakukan umur 80 minggu, saat ini bisa dilakukan umur 90 minggu bahkan sampai ada yang bisa mencapai 100 minggu.

Masa produksi dapat diibaratkan sebagai masa dimana peternak menuai hasil dari pemeliharaan pullet sebelumnya. Ayam petelur mulai berproduksi ketika mencapai umur 18 minggu. Pada umur tersebut, tingkat produksi telur baru mencapai sekitar 3,8% dan selanjutnya akan terus mengalami peningkatan secara cepat hingga mencapai puncak produksi yaitu sekitar 94-96% dalam kurun waktu ± 2 bulan (di umur 26 minggu). Produksi telur diketahui telah mencapai puncaknya apabila selama 5 minggu berturut-turut persentase produksi telur sudah tidak mengalami peningkatan lagi. Sesuai dengan pola siklus bertelur, maka setelah mencapai puncak produksi, sedikit demi sedikit jumlah produksi mulai mengalami penurunan secara konstan dalam jangka waktu cukup lama (selama 52-62 minggu sejak pertama kali bertelur). Laju penurunan produksi telur secara normal berkisar antara 0,4-0,5% per minggu (Sumber: ISA Brown Management Guide, 2019).

Penyebab Permasalahan Produksi Telur

Faktor-faktor penyebab utama terjadinya penurunan produksi pada peternakan ayam petelur, antara lain :

1. Faktor infeksius (penyakit)

Faktor penyakit selama ini dianggap sebagai salah satu penyebab utama penurunan produksi telur pada ayam petelur. Penyakit menyebabkan berbagai disfungsi organ, baik itu organ pencernaan, pernapasan, saraf maupun organ reproduksi yang secara langsung berhubungan dengan produksi telur. Diantara jenis penyakit tersebut yang sering menjadi topik perbincangan peternak ayam petelur adalah Newcastle Disease (ND), Avian Influenza (AI), Infectious Bronchitis (IB) dan Egg Drop Syndrome (EDS).

Pada perkembangannya, virus AI memiliki 2 mekanisme dalam mengganggu organ reproduksi ayam, yaitu pembendungan pembuluh darah di ovarium dan rusaknya permukaan ovarium pada saat budding exit atau keluarnya virus dari sel. Kedua mekanisme ini akan mengakibatkan penurunan bahkan menghentikan produksi telur. Infeksi AI juga mempengaruhi kualitas telur dimana serangannya menyebabkan telur kehilangan pigmennya sehingga warna kerabang menjadi lebih pucat.

Perubahan pada organ reproduksi akibat ND yaitu indung telur mengecil, selaput telur membengkak dan terjadi perdarahan. Begitu juga pada infeksi virus EDS, oviduct menjadi kendur dan terdapat oedema (pembengkakan) pada jaringan sub-serosa-nya. Selain itu, penyakit EDS juga menyebabkan warna coklat pada kerabang telur hilang, diikuti dengan kerabang tipis, lembek dan tanpa kerabang. Pada kasus serangan IB, ovarium tidak berkembang, lunak seperti bubur, berdarah, membengkak dan lembek.

Selain itu, sering dijumpai kasus pecahnya kuning telur pada rongga perut. Kasus cystic oviduct juga semakin meningkatkan keparahan serangan IB. Dari segi kualitas telur yang dihasilkan, kasus IB menyebabkan warna telur menjadi lebih pucat, ukuran telur lebih kecil, putih telur encer, kerabang menjadi tipis dan mudah pecah.

Kerusakan atau gangguan pada sistem reproduksi akibat infeksi salah satu penyakit penurun produksi telur tersebut akan mengakibatkan produksi telur menurun. Penurunan produksi telur akibat serangan virus IB berkisar 10-50%, EDS menurun 20-40% dan AI tipe Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) bahkan bisa mencapai 80%. Sedangkan pada kasus ND, penurunan produksi telur baik dari kualitas maupun kuantitas bahkan hingga 60%.

Selain penyakit viral, produksi telur juga bisa menurun akibat penyakit bakterial seperti Coryza. Penyakit ini dapat menyebabkan gangguan produksi karena dampak penurunan feed intake yang drastis sehingga secara tidak langsung menyebabkan penurunan produksi telur.

2. Faktor non infeksius

Pada kasus non infeksius ada 4 penyebab, diantaranya :


  • Kualitas
    pullet

Pada kasus yang disebabkan oleh kualitas pullet yang kurang baik ditandai dengan ciri-ciri berat badan dan keseragaman pullet yang rendah. Keseragaman pullet yang rendah ini dapat mengakibatkan ketidakseragaman awal produksi dan tidak seragamnya ukuran telur yang dihasilkan. Ciri lainnya, lamanya mencapai dewasa kelamin sehingga awal produksi menjadi terlambat. Adanya pullet yang mempunyai jarak tulang pubis yang sempit dan menunjukkan permasalahan kerangka juga menjadi ciri tersendiri yang mengakibatkan ayam tersebut mempunyai ukuran telur yang lebih kecil.


  • Nutrisi
    ransum dan air minum

Kualitas ransum yang buruk, nutrisinya kurang atau tidak seimbang serta ransum yang mengandung zat racun/antinutrisi dapat menyebabkan penurunan produksi telur. Demikian halnya dengan kecukupan air minum.

Tidak terpenuhinya kebutuhan dari salah satu nutrisi ransum melalui asupan ransum, maka akan mengurangi berat telur, bahkan bisa berakibat pada penurunan jumlah produksi telur.

Ayam petelur membutuhkan asupan kalsium (Ca) yang cukup tinggi di masa produksi. Jika sediaan Ca di dalam tubuh ayam tidak tercukupi, maka jumlah produksi akan menurun dan pembentukan kerabang telur pun dapat terganggu. Akibatnya kerabang telur lembek. Asupan Ca juga mempengaruhi warna kerabang telur. Jika kadar Ca rendah atau tidak cukup maka sekresi phorpyrin saat pengecatan kerabang telur akan berkurang akibatnya warna kulit telur menjadi lebih putih. Yang juga penting diperhatikan dalam pemberian Ca dan P ialah mengenai imbangan kebutuhannya di dalam tubuh. Untuk ayam petelur fase starter hingga grower , perbandingan Ca : P sebesar 2 : 1. Untuk fase prelayer perbandingannya 2,5 : 1, dan ketika fase layer naik menjadi 3-4 : 1. Apabila kandungan Ca di dalam ransum melebihi kebutuhan standarnya, maka akan mempengaruhi penyerapan mineral lain seperti Mg, Mn, dan Zn sehingga tidak optimal.

Seringkali kasus ketidak- seimbangan nutrisi berdampak pada pencapaian berat badan ayam yang tidak sesuai dengan standar. Saat memasuki masa produksi, ayam dengan berat badan di bawah standar tidak akan memulai produksi telur dan jika berproduksi pun akan dihasilkan telur berukuran kecil dalam waktu yang relatif lama.

Selain itu, periode produksi menjadi mundur dengan jumlah produksi yang rendah. Begitu juga sebaliknya, pertumbuhan berat badan yang melebihi standar akan menyebabkan produksi telur menjadi turun dengan ukuran telur yang besar. Selain itu juga sering memicu terjadinya kasus prolapsus. Kejadian prolapsus tentunya akan sangat berakibat fatal karena berdampak pada kerusakan permanen saluran telur sehingga ayam berhenti berproduksi. Adanya timbunan lemak tersebut juga akan menghambat proses pembentukan telur (produksi telur rendah).


  • Kurangnya
    pencahayaaan atau tidak cukupnya intensitas cahaya

Ayam petelur yang sudah memasuki masa produksi telur, membutuhkan 16 jam pencahayaan (12 jam cahaya matahari dan 4 jam dari cahaya lampu) untuk memelihara jumlah produksi telur tetap optimal. Faktor pencahayaan saat masa pullet juga berhubungan erat dengan pencapaian berat, ukuran telur dan kematangan saluran reproduksi.


  • Faktor
    stres

Stres dapat menyebabkan turunnya produksi telur. Stres yang biasa terjadi meliputi stres akibat perubahan cuaca/suhu (kedinginan atau kepanansan), pindah kandang, serangan parasit dan perlakuan kasar. Stres yang ditimbulkan akibat suara gaduh atau perlakuan kasar contohnya dapat menyebabkan proses pembentukkan kerabang telur tidak berlangsung secara sempurna. Kedinginan adalah stres yang paling sering terjadi selama musim penghujan. Dalam kondisi ini pencahayaan berkurang dan berakibat tidak terangsangnya hormon reproduksi untuk memroduksi telur.

Sebaliknya stres akibat cuaca panas, menyebabkan ayam lebih banyak minum dan mengurangi aktivitas konsumsi ransum sehingga kebutuhan nutrisi untuk pembentukan telur tidak terpenuhi. Kondisi ini dapat menyebabkan produksi telur turun, demikian pula dengan kualitasnya. Selama cuaca panas, ayam akan melakukan panting (megap-megap) sehingga mengeluarkan banyak karbondioksida (CO₂). Pada pembentukan telur, CO₂ diperlukan untuk membentuk kalsium karbonat (CaCO₃) yang berguna untuk menyusun kerabang telur. Akibatnya kerabang akan lebih tipis dan mudah retak.

Kunci Keberhasilan Mencapai Produksi Optimal

Menyadari pentingnya pemeliharaan pada masa kritis pemeliharaan ayam petelur, maka berikut kami uraikan beberapa tindakan kunci penting yang harus dijalankan agak mencapai keberhasilan sejak awal produksi antara lain :

1. Berat badan mencapai standar dan keseragaman > 85%

Kontrol bobot badan (penimbangan ayam petelur dilakukan secara rutin agar performa atau pertumbuhan ayam dapat terpantau dengan baik dengan catatan :

  • Jumlah sampel 5-10% dari populasi
  • Penimbangan pada ayam umur 0-2 minggu dilakukan perkelompok, sedangkan untuk ayam umur >3 minggu dilakukan per individu
  • Gunakan timbangan gantung dengan skala pembagi tidak lebih dari 20 g.
  • Saat umur 0-18 minggu kontrol berat badan dilakukan sekali setiap minggu, umur 18 minggu hingga puncak produksi dilakukan setiap 2 minggu dan setelah puncak produksi ayam ditimbang setiap bulan
  • Waktu penimbangan dilakukan pada waktu yang tetap, misal pada hari Jumat pagi dengan kondisi tembolok kosong sehingga bias akibat waktu yang berbeda maupun berat ransum yang dikonsumsi bisa diminimalisir
  • Setelah dilakukan penimbangan, hitung keseragaman (uniformity) dengan cara membandingkan antara ayam yang bobot badannya sesuai standar (+10%) dengan total jumlah ayam yang ditimbang. Nilai keseragaman hendaknya tidak lebih kecil dari 85%.

2. Kebutuhan nutrisi ransum dan air minum terpenuhi

Berikan ransum dengan nutrisi yang sesuai dengan kebutuhan ayam di setiap periode pemeliharaannya, terutama kandungan protein, asam amino, energi, asam lemak, kalsium, fosfor, serta vitamin D, A, E dan K. Ransum starter memiliki kandungan protein (asam amino), energi, vitamin (A, E dan K) tinggi yang sangat dibutuhkan untuk pembelahan sel-sel baru. Sedangkan ransum grower memiliki kandungan protein dan vitamin (A, E dan K) lebih rendah daripada ransum starter. Hal ini disebabkan karena fungsi ransum grower untuk maintenance tubuh dan menghindari pertambahan lemak yang banyak. Bagi ayam petelur, keberadaan lemak perut (abdomen) lebih dari 5% akan menurunkan performa ayam.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian ransum pada ayam petelur yaitu :

  • Ransum disediakan berdasarkan standar breeder ditinjau dari kualitas maupun kuantitasnya agar memudahkan pengontrolan dan menghindari pemborosan ransum
  • Ransum disediakan dalam kondisi segar dengan cara mengatur periode pemberian ransum dan sering dibolak-balik. Tindakan ini akan merangsang ayam mengonsumsi ransum dan mengurangi jumlah ransum terbuang.
  • Hindari mengganti ransum dalam waktu singkat. Pola pergantian ransum dapat dilakukan dengan perbandingan antara ransum lama dengan ransum baru berturut-turut 75%:25%, 50%:50%, 25%:75% dan terakhir adalah 100% ransum baru.
  • Waktu pemberian ransum sebaiknya sebelum suhu lingkungan tinggi (saat siang hari dan matahari ada di sekitar puncak orbitnya).
  • Waktu pemberian ransum yang baik. Misalkan pagi antara jam 03.00-08.00, sore hari jam 14.00-16.00
  • Waktu pemberian ransum disiplin, jika sering dilakukan jam 07.00 maka harus diberikan jam 07.00
  • Pastikan kecukupan air minum baik kualitas maupun kuantitas
  • Jangan mengurangi pencahayaan saat masa kritis

Untuk mengatasi kekurangan Ca, dapat ditambahkan grit (tepung kulit kerang) dalam ransum. Grit digunakan untuk cadangan kalsium saat ayam petelur akan memasuki fase bertelur. Jangan mengurangi jumlah pakan saat bertelur, terutama saat awal sampai puncak produksi.

Selain pemberian grit, perlu ditambahkan juga suplemen vitamin seperti Strong Egg atau Egg Stimulant. Egg Stimulant juga berguna untuk mempercepat tercapainya produksi telur yang maksimal sekaligus mempertahankan produksi telur tetap tinggi. Selain itu, suplementasi asam amino (metionin dan lisin), khususnya yang terkandung dalam Aminovit dan Top Mix mampu menambah produksi dan berat telur. Bila kualitas ransum kurang baik, tambahkan Top Mix untuk meningkatkan kualitasnya.

3. Status kesehatan baik

Untuk mengatasi masalah penurunan produksi yang bekaitan dengan faktor infeksius, dalam hal ini kita harus mencegah terjadinya infeksi penyakit melalui pelaksanaan program vaksinasi dan penerapan biosekuriti. Untuk mengatasi kasus karena infeksi penyakit seperti ND, AI, EDS dan IB, lakukan program vaksinasi sesuai kondisi peternakan setempat. Untuk ayam petelur yang telah memasuki masa produksi, sebaiknya lakukan pula monitoring titer antibodi ND, AI, EDS dan IB secara rutin.

Terkait dengan program kesehatan, idealnya program vaksinasi seperti ND, EDS, IB, AI dan korisa sudah dilakukan selambatnya 2 minggu sebelum awal produksi. Sehingga saat memasuki masa kritis sudah tidak ada jadwal vaksinasi. Vaksinasi kembali diberikan setelah puncak produksi dan harus dilakukan dengan hati-hati.

Jika peternak merasakan mulai terjadi penurunan produksi telur, segera lakukan anamnesa disertai dengan pembacaan recording produksi sebagai langkah awal diagnosa. Pada penurunan produksi yang disebabkan oleh faktor infeksi penyakit, langkah selanjutnya ialah dengan mengamati gejala klinis yang tampak dan perubahan patologi anatomi yang terjadi, serta lakukan pemeriksaan uji laboratorium untuk meneguhkan diagnosa. Jika diperlukan, lakukan uji serologi dengan mengukur titer antibodi ayam guna membantu meneguhkan diagnosa. Langkah-langkah tersebut penting dilakukan untuk mendeteksi secara dini penyebab turunnya produksi sehingga dapat dilakukan penanganan lebih lanjut melalui program antisipasi yang tepat.

4. Ciptakan suasana kandang yang nyaman

  • Bangun kandang dengan sistem sirkulasi yang baik, pilih atap kandang yang mampu mereduksi panas atau gunakan sistem atap monitor. Jika cuaca panas terjadi, pemberian hujan buatan atau penambahan blower dapat dilakukan
  • Temperatur yang dirasakan ayam dipengaruhi oleh kombinasi temperatur udara, kelembapan dan kecepatan aliran udara.
  • Temperatur efektif yang optimal untuk layer di kandang baterai sekitar 20-24°C dengan kelembapan 60-70%.
  • Jarak antar kandang minimal 1 kali lebat kandang (lebar kandang sebaiknya tidak lebih dari 7 meter)
  • Atur kepadatan kandang
  • Ciptakan kondisi yang nyaman selama masa pemeliharaan. Buka tirai lebar-lebar, pasang kipas angin, ganti sekam yang basah, dan lakukan penyemprotan kandang dengan menggunakan desinfektan seperti Antisep atau Neo Antisep.

5. Berikan pencahayaan yang cukup

Pencahayaan pada masa produksi di antaranya berfungsi untuk merangsang nafsu makan, pertumbuhan serta merangsang sekresi hormon Folicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) yang berperan dalam pembentukan bakal kuning telur dan ovulasi (pelepasan kuning telur).

Atur program pencahayaan. Untuk memperoleh telur dengan ukuran yang optimal, jangan memberi tambahan cahaya pada ayam periode grower sebelum ayam tersebut mencapai berat badan antara 1.550-1.600 g (siap berproduksi). Pastikan lampu tersebar merata di seluruh ruangan, sebab distribusi lampu yang tidak merata dapat menyebabkan stimulasi cahaya antar ayam menjadi tidak sama dan berdampak pada produksi telur dalam satu kandang yang tidak seragam.

Pencahayaan dapat digunakan untuk mengatur kapan ayam memasuki masa produksi.

  • Masa starter (0-6 minggu), pada masa ini intensitas pencahayaan memerlukan waktu paling lama, khususnya saat brooding (21-24 jam) dengan intensitas 20-40 lux. Tujuannya agar ayam mengenali tempat ransum dan terstimulasi untuk makan
  • Masa grower (7-18 minggu), pencahayaan diberikan dalam waktu singkat (12 jam/hanya dari cahaya matahari) dengan intensitas 5-10 lux. Tujuannya untuk mengontrol perkembangan organ reproduksi dan mencapai berat badan yang optimal saat mulai berproduksi. Jika pada masa ini diberikan cahaya yang berlebihan akan menyebabkan ayam bertelur dini atau berat badan ayam melebihi standar (memperbesar risiko kejadian prolapsus)
  • Masa layer (>18 minggu-afkir), cahaya diberikan maksimal 16 jam dengan intensitas 10-20 lux. Penambahan lama pencahayaan harus segara dilakukan saat ayam pertama kali bertelur, penambahan berikutnya dilakukan secara bertahap (bertambah ½ jam setiap minggunya terhitung sejak pertama kali bertelur hingga mencapai 16 jam). Hal penting lainnya yaitu jangan mengurangi lama pencahayaan saat ayam berproduksi, terlebih saat masa kritis (umur 18-25 minggu).

Sebagai panduan, berikut lampiran program pencahayaan yang bisa diterapkan di peternakan ayam petelur:

6. Evaluasi dengan recording

Membuat tabel berisi data keadaan ternak per kandang juga harus dilakukan peternak. Tabel pencatatan (recording) ini berisi parameter yang dapat dijadikan tolak ukur evaluasi pemeliharaan. Dalam pembuatannya, recording bisa mencakup :


  • Populasi
    (jumlah ayam dan persen kematian)

  • Konsumsi
    ransum (kg ransum/ekor dan total ransum)

  • Kegiatan
    kandang (program vaksinasi dan pengobatan)

  • Kondisi
    kandang (suhu, kelembapan, suhu, dan kecepatan angin)

  • FCR
    harian serta berat badan dan persen keragaman mingguan.

Kunci keberhasilan usaha peternakan ayam petelur terletak pada manajemen yang baik sehingga didapatlan pencapaian target performa yang maksimal. Salam.

Kunci Mencapai Keberhasilan Produksi Telur
Subscribe To Our Newsletter
We respect your privacy. Your information is safe and will never be shared.
Don't miss out. Subscribe today.
×
×
WordPress Popup Plugin